Donald Trump tampak di jet pribadi dalam video bertajuk ‘King Trump’ yang menuai kontroversi karena disebut palsu.
Trump Pamer Video Palsu kembali menjadi sorotan publik setelah mantan Presiden Amerika Serikat itu mengunggah video berjudul “King Trump” di media sosialnya. Dalam video tersebut, Trump digambarkan duduk di dalam jet pribadi mewah dengan atribut kerajaan — termasuk mahkota emas dan jubah merah — seolah-olah ia seorang raja yang berkuasa penuh.
Video ini dengan cepat menjadi viral di platform X (Twitter) dan Truth Social, memicu perdebatan luas di kalangan politik dan media. Banyak pihak menilai, video tersebut adalah bentuk pencitraan diri berlebihan di tengah kampanye pemilihan presiden 2024 yang semakin memanas.
Dalam video berdurasi sekitar satu menit itu, terlihat sosok Trump berjalan menuju jet pribadinya bertuliskan “King Trump”. Adegan tersebut disertai musik epik dan sorak-sorai pendukung, memperkuat kesan seolah-olah ia sedang naik tahta.
Beberapa analis media menilai bahwa Trump pamer video palsu ini bukan sekadar hiburan visual, melainkan simbol politik yang menggambarkan ambisinya untuk kembali berkuasa.
Simbol-simbol kerajaan — seperti mahkota, warna emas, dan singgasana — dianggap sebagai metafora supremasi diri Trump di atas lembaga demokrasi yang seharusnya egaliter.
Unggahan video “King Trump” pertama kali muncul di akun pribadi Trump di Truth Social. Meski disebut “video kampanye”, banyak pengguna internet menemukan bahwa cuplikan tersebut dibuat dengan teknologi AI (Artificial Intelligence).
Beberapa ahli forensik digital dari The Washington Post dan Reuters mengonfirmasi bahwa video itu mengandung elemen sintetis — mulai dari pencahayaan yang tak alami hingga gerakan kepala yang tidak sinkron.
Hal ini memperkuat dugaan bahwa Trump pamer video palsu dengan tujuan menggiring opini publik dan memperkuat narasi kepemimpinannya sebagai sosok “tak tergantikan”.
Publik Amerika terbagi dua. Pendukung Trump menganggap video itu “kreatif” dan “simbol keberanian”. Namun, lawan politiknya menilai video tersebut sebagai bukti kesombongan politik dan manipulasi visual yang berbahaya.
Media besar seperti CNN dan The New York Times menyoroti bahaya normalisasi video palsu dalam kampanye politik. Mereka mengingatkan bahwa video semacam itu dapat menyesatkan pemilih dan merusak integritas demokrasi.
Selain itu, kelompok advokasi media mendesak Komisi Pemilihan Federal (FEC) untuk menyusun pedoman baru terkait penggunaan teknologi AI dalam kampanye politik.
Meskipun kontroversi besar mengiringi unggahan itu, sebagian besar elit Partai Republik memilih bungkam. Beberapa pejabat partai justru menganggap video tersebut “tidak perlu dibesar-besarkan”.
Sikap diam ini memperlihatkan kecanggungan internal GOP (Grand Old Party) yang masih menggantungkan popularitas mereka pada figur Trump.
Beberapa pengamat menyebut, Trump pamer video palsu justru menjadi ujian loyalitas bagi para anggota partai yang berambisi tetap relevan di panggung politik nasional.
Sementara itu, muncul gerakan protes bertajuk “No Kings” di beberapa kota besar seperti Washington D.C., New York, dan Los Angeles. Para demonstran membawa poster bertuliskan “No Kings in America” dan “Democracy, Not Monarchy”.
Mereka menilai video Trump adalah bentuk pelecehan terhadap prinsip demokrasi Amerika Serikat.
Gerakan ini mendapat dukungan dari kelompok progresif dan aktivis HAM yang menolak segala bentuk kultus individu dalam sistem politik.
Pakar politik dari Harvard dan Georgetown University menyebut bahwa Trump pamer video palsu adalah bagian dari strategi komunikasi simbolik.
Dalam narasi ini, Trump ingin menunjukkan dirinya sebagai “raja rakyat” — sosok kuat yang menentang “elit Washington”.
Namun, pendekatan semacam ini memiliki risiko besar. Dalam sejarah politik Amerika, citra pemimpin yang menampilkan diri sebagai penguasa absolut sering kali menimbulkan resistensi publik.
Beberapa pengamat juga membandingkan taktik Trump dengan propaganda visual era 1930-an, di mana simbol kekuasaan digunakan untuk menanamkan loyalitas emosional.
Dengan pemilu presiden yang tinggal beberapa bulan lagi, video palsu ‘King Trump’ bisa menjadi pedang bermata dua.
Di satu sisi, ia memperkuat basis pendukung fanatik Trump. Di sisi lain, dapat memperburuk citranya di mata pemilih moderat yang menilai video itu sebagai tanda arogansi.
Kasus Trump pamer video palsu ‘King Trump’ menyoroti tantangan baru dalam komunikasi politik modern: kaburnya batas antara realitas dan fiksi digital.
Meski sebagian pendukung melihatnya sebagai “strategi kreatif”, publik dan media internasional melihat tanda bahaya — normalisasi manipulasi visual dalam demokrasi.
Sikap diam Partai Republik, serta munculnya gerakan “No Kings”, memperkuat pandangan bahwa Amerika sedang menghadapi krisis simbolik tentang makna kekuasaan dan kepemimpinan.
Jika tidak dikontrol, penggunaan teknologi AI untuk propaganda politik seperti ini bisa membuka jalan bagi disinformasi yang lebih luas di masa depan.
Fenomena Trump Pamer Video Palsu bukan sekadar insiden digital — ia adalah cerminan dinamika kekuasaan, teknologi, dan opini publik di era pasca-kebenaran.
Di tengah ketegangan politik menjelang 2024, video ini bisa menjadi simbol peringatan: bahwa demokrasi, tanpa kesadaran kritis, mudah berubah menjadi panggung ilusi.
Temukan 10 fakta mengejutkan tentang junk food yang jarang diketahui orang. Dari efek pada otak…
🔥 Gelombang Kejutan di Tubuh Militer China Beijing kembali menjadi pusat perhatian dunia setelah Presiden…
Bunga telang atau kembang telang (Clitoria ternatea) adalah salah satu jenis tanaman yang cukup mudah ditemukan…
Rose of Jericho, atau yang dikenal juga sebagai “Bunga Kebangkitan”, merupakan salah satu tumbuhan paling…
Kylian Mbappe semakin menegaskan statusnya sebagai mesin gol di Eropa. Ia mencatat hat-trick saat Real…
Pemerintah Indonesia menolak menerbitkan visa bagi enam atlet senam israel yang terdaftar tampil di 53rd…