Gelombang antusiasme menyambut Piala Dunia 2026 tidak hanya datang dari lapangan hijau, tetapi juga dari sistem tiket yang diperkenalkan FIFA. Untuk pertama kalinya, badan sepak bola dunia ini mengumumkan penggunaan tiket dengan harga dinamis atau dynamic pricing. Kebijakan tersebut menimbulkan rasa penasaran sekaligus kegelisahan di kalangan suporter yang berharap bisa hadir langsung di stadion.
FIFA menegaskan, penjualan tiket dengan skema harga dinamis akan dimulai sejak fase awal pada September 2025. Harga tiket termurah dibuka di angka 60 dolar AS (Rp987.259) untuk laga fase grup, sementara tiket final bisa mencapai 6.730 dolar AS (Rp110 juta lebih). Namun, harga-harga tersebut tidak bersifat tetap karena akan mengikuti permintaan pasar sepanjang periode penjualan.
FIFA memutuskan untuk menggunakan sistem harga dinamis di Piala Dunia 2026 yang berlangsung di Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko. Dalam praktiknya, harga tiket dapat berubah-ubah sesuai dengan tingkat permintaan, mirip dengan mekanisme harga tiket pesawat atau hotel. Dengan demikian, penonton yang membeli tiket lebih cepat berpotensi mendapatkan harga lebih murah dibanding mereka yang menunggu lebih lama.
Proses distribusi tiket dibagi menjadi beberapa fase. Tahap awal dimulai dengan undian prapenjualan khusus pemegang kartu Visa, kemudian dilanjutkan dengan undian reguler dan sistem first-come-first-served. Para pemenang undian akan mendapatkan kesempatan membeli hingga 40 tiket dengan batas empat tiket per laga, untuk maksimal sepuluh pertandingan.
Selain itu, FIFA menyiapkan platform resmi untuk penjualan kembali tiket. Di Amerika Serikat dan Kanada, tidak ada batasan harga untuk resale, yang berarti tiket dapat dijual kembali dengan harga lebih tinggi. Namun, di Meksiko, aturan berbeda berlaku karena pemerintah mewajibkan harga tiket penjualan kembali tetap sesuai dengan nominal awal. Hal ini mencerminkan adanya perbedaan regulasi antara negara penyelenggara yang bisa berdampak kepada keterjangkauan tiket di masing-masing wilayah.
FIFA beralasan, penggunaan tiket dinamis merupakan bentuk adaptasi terhadap budaya pasar Amerika Utara. Di kawasan tersebut, harga tiket olahraga dan hiburan umumnya memang ditentukan oleh permintaan konsumen. Menurut FIFA, mekanisme ini tidak hanya bertujuan memaksimalkan pendapatan, tetapi juga menjaga tingkat kehadiran di stadion agar tetap tinggi.
Dari sisi finansial, FIFA memiliki target ambisius. Dilansir The Athletic, badan sepak bola dunia itu menargetkan lebih dari 3 miliar dolar AS atau setara Rp49,3 triliun dari penjualan tiket dan paket hospitality pada Piala Dunia 2026. Angka tersebut jauh lebih besar dibandingkan edisi-edisi sebelumnya, terutama dengan jumlah pertandingan yang mencapai 104 laga di 16 kota. Dengan basis pasar Amerika Utara yang memiliki daya beli tinggi, FIFA berusaha memastikan setiap kursi stadion menjadi sumber pemasukan maksimal.
Lebih jauh lagi, FIFA bahkan telah meraup keuntungan sebelum tiket resmi dijual. Melalui platform FIFA Collect, mereka menawarkan digital token bernama Right to Buy (RTB) yang memberikan hak kepada pembeli untuk membeli tiket tertentu pada masa mendatang. Penjualan RTB ini telah menghasilkan puluhan juta dolar, meskipun token tersebut tidak mencakup harga tiket itu sendiri. Langkah-langkah ini kemudian dikritik berbagai pihak sebagai bentuk kapitalisasi berlebihan FIFA karena memonetisasi akses awal sekaligus mengambil alih peran pasar sekunder untuk kepentingan komersial.
Meski sah secara hukum, kebijakan tiket dinamis memicu reaksi keras dari publik. Banyak pihak menilai sistem ini melanggar perjanjian tak tertulis antara olahraga dan penggemar, karena menjadikan suporter sekadar konsumen. Dinamika harga yang tidak menentu dikhawatirkan akan membuat penonton kelas pekerja kesulitan membeli tiket, terutama untuk laga-laga populer seperti final.
Gelombang protes mulai muncul di Amerika Serikat. Calon wali kota New York, Amerika Serikat, Zohran Mamdani, meluncurkan petisi bertajuk “Game Over Greed” yang menuntut FIFA membatalkan sistem tiket dinamis. Petisi tersebut juga menyerukan agar FIFA kembali memberlakukan batas harga untuk penjualan kembali tiket serta menyediakan 15 persen tiket bersubsidi bagi warga lokal. Respons ini menunjukkan kecemasan publik mengenai Piala Dunia yang makin tidak membumi dan hanya bisa dinikmati penonton kalangan atas.
Buah belimbing, atau dikenal juga dengan nama star fruit karena bentuknya menyerupai bintang ketika dipotong…
Polri Tetapkan 1 Tersangka Baru : Kasus Tambang Ilegal Batu Bara Rp 5,7 T di…
Kami berkomitmen menghadirkan hunian dan proyek properti di lokasi strategis dengan standar kualitas tinggi, dirancang…
1. Awal Perjalanan Sang Batu Hijau Batu giok, atau jade, merupakan salah satu batu mulia…