Rumah Pejabat
Tunjangan DPR Rp50 Juta per Bulan Bikin Geger, Rumah Pejabat RI Jadi Sasaran Amuk Massa Gelombang kemarahan rakyat memuncak setelah terungkap tunjangan rumah DPR RI sebesar Rp50 juta per bulan. Amarah warga meledak hingga menjurus pada penjarahan rumah pejabat seperti Ahmad Sahroni, Eko Patrio, Uya Kuya, Sri Mulyani, hingga Puan Maharani. Simak kronologi lengkapnya di sini.
Indonesia diguncang gelombang amarah rakyat pada akhir Agustus 2025. Ribuan warga turun ke jalan, menggeruduk, merusak, bahkan menjarah sejumlah rumah Pejabat negara. Aksi massa ini bukan sekadar unjuk rasa biasa, melainkan ledakan emosi yang telah lama dipendam. Isu utama yang memicu kericuhan adalah terbongkarnya tunjangan rumah bagi anggota DPR RI senilai Rp50 juta per bulan yang ternyata sudah berlangsung selama sepuluh bulan.
Masyarakat selama ini dihimpit berbagai persoalan, mulai dari harga kebutuhan pokok yang naik, sulitnya akses pekerjaan, hingga minimnya jaminan sosial. Di tengah situasi sulit tersebut, muncul fakta bahwa anggota DPR RI justru menikmati fasilitas berlimpah. Hal ini dianggap sebagai bentuk ketidakadilan.
Kemarahan warga pun semakin menguat ketika sejumlah anggota DPR memberi pernyataan reaktif saat dikritik. Ahmad Sahroni, misalnya, menepis kritik dengan nada tinggi. Begitu pula dengan Nafa Urbach yang kini juga duduk di kursi DPR. Respons defensif tersebut hanya menambah bara di hati rakyat.
Fakta tunjangan rumah Rp50 juta per bulan menjadi “bom waktu.” Bagi masyarakat yang berjuang bertahan hidup dengan gaji UMR, angka itu sungguh fantastis. Terlebih, kebijakan tersebut tidak pernah disosialisasikan secara terbuka. Rakyat merasa dikhianati dan akhirnya meluapkan kemarahan secara langsung.
Sebelum turun ke jalan, masyarakat lebih dulu menyerang lewat media sosial. Tagar-tagar seperti #StopTunjanganDPR, #RakyatMarah, dan #KembalikanUangRakyat sempat menjadi trending di berbagai platform. Dari sinilah aksi nyata di lapangan mulai terbentuk.
Puncak kemarahan terjadi pada Sabtu (30/8/2025) sore ketika massa menyerbu rumah Ahmad Sahroni di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Mobil-mobil mewah miliknya dihancurkan, perabot rumah dirusak, hingga barang-barang mahal seperti televisi, handphone, mesin cuci, bahkan patung Iron Man bernilai ratusan juta dijarah.
Rekaman aksi penjarahan tersebar luas di TikTok, Instagram, hingga YouTube. Sahroni disebut sebagai simbol “pejabat flexing” sehingga amarah warga terakumulasi padanya.
Malam harinya, giliran rumah Eko Patrio di kawasan elit Kuningan, Jakarta Selatan, yang digeruduk. Meski Eko sempat meminta maaf di hadapan publik, warga tetap menyerbu rumah bernilai Rp150 miliar tersebut. Furnitur mahal, barang elektronik, hingga koleksi pribadi ikut raib.
Tak lama berselang, massa bergerak ke Pondok Bambu, Duren Sawit, Jakarta Timur, menggeruduk rumah Uya Kuya. Aksi penjarahan kali ini bahkan membuat Uya kehilangan kucing-kucing ras mahalnya. Meski mengaku ikhlas, ia tidak bisa menahan rasa sedih. Polisi sempat menangkap tujuh orang warga yang membawa kabur barang-barangnya.
Pada Minggu (31/8/2025) dini hari, rumah Menteri Keuangan Sri Mulyani di kawasan Mandar Bintaro, Tangerang Selatan, menjadi sasaran berikutnya. Kursi, guci antik, hingga lukisan koleksi pribadi diangkut massa. Pasca kejadian, aparat TNI langsung menjaga ketat kediaman tersebut.
Gelombang amarah berlanjut hingga Minggu pagi. Rumah Ketua DPR RI Puan Maharani didatangi massa yang berteriak meminta dirinya keluar. Namun tidak ada respons dari dalam rumah. Hingga kini belum jelas apakah massa berhasil masuk atau tidak, tetapi ketegangan terus berlangsung hingga malam.
Fenomena doksing juga menjadi bagian dari aksi massa. Identitas, alamat rumah, hingga nomor kendaraan pejabat tersebar di media sosial. Publik menilai doksing sebagai bentuk “perlawanan digital” terhadap pejabat yang dianggap tidak berpihak pada rakyat.
Polisi dan TNI berupaya menenangkan situasi, tetapi gelombang massa terlalu besar. Aparat berhasil mengamankan beberapa lokasi, namun penjarahan di rumah Sahroni, Eko Patrio, dan Uya Kuya sudah terlanjur terjadi. Setelah itu, pemerintah menginstruksikan penambahan pasukan di titik-titik vital.
Beberapa pejabat memilih meminta maaf secara terbuka, meski terlambat. Uya Kuya menyampaikan bahwa ia mengikhlaskan barang-barang yang hilang. Sementara Sahroni menilai aksi tersebut sebagai “kekeliruan massa” namun mengaku akan melakukan introspeksi.
Sri Mulyani justru meminta publik tidak melakukan kekerasan karena bisa menambah kerugian negara. Sedangkan Puan Maharani memilih diam, yang justru memperkuat sentimen negatif di masyarakat.
LSM dan aktivis menilai penjarahan bukan solusi, tetapi mereka memahami alasan rakyat marah. Menurut mereka, pemerintah dan DPR gagal membangun komunikasi dengan rakyat sehingga menimbulkan krisis kepercayaan.
Peristiwa ini bukan sekadar penjarahan biasa, melainkan sinyal bahwa rakyat kehilangan kesabaran. Tunjangan Rp50 juta hanyalah pemicu, sedangkan akar masalahnya adalah ketidakadilan sosial, transparansi buruk, dan gaya hidup mewah pejabat.
Untuk meredam gejolak, pemerintah perlu membuka dialog publik, transparan soal anggaran, dan menghentikan kebijakan yang tidak pro rakyat. Selain itu, aparat juga harus adil dalam menegakkan hukum tanpa hanya menyalahkan massa.
Gelombang penjarahan rumah pejabat RI pada akhir Agustus 2025 menjadi titik balik hubungan rakyat dengan wakilnya di parlemen. Rakyat marah karena merasa dikhianati, sementara pejabat terlalu lama hidup dalam zona nyaman. Jika tidak ada perubahan serius, konflik semacam ini berpotensi terulang di masa depan.
Pernikahan Selena Gomez & Benny Blanco setelah 2 tahun pacaran. Dari gaun Ralph Lauren yang…
Memancing bukan sekadar menunggu ikan menyambar kail, tapi tentang melatih hati untuk bersabar, berpikir jernih,…
Hewan peliharaan bukan hanya sekadar teman di rumah. Banyak penelitian ilmiah membuktikan bahwa keberadaan hewan…
Pendahuluan: Musim Hujan dan Ancaman Masuk Angin Setiap kali musim hujan tiba, ada satu penyakit…