Pada tahun 2025, China berhasil mencatatkan rekor konsumsi batu bara yang mengejutkan dunia. Menurut laporan Global Energy Monitor, jumlah batu bara yang dibakar mencapai angka tertinggi dalam 20 tahun terakhir. Rekor batu bara China 2025 ini menjadi perbincangan hangat, karena terjadi di saat negara-negara lain tengah berusaha menurunkan emisi karbon demi memerangi perubahan iklim.
China mengandalkan batu bara bukan tanpa alasan. Energi ini masih menjadi bahan bakar utama yang menyokong lebih dari 55% kebutuhan listrik nasional. Bayangkan, dari total lebih dari 1,4 miliar penduduk, hampir semua sektor industri dan rumah tangga bergantung pada energi murah ini. Lonjakan tersebut membuat China menjadi konsumen sekaligus penghasil polusi terbesar di dunia.
Pertanyaan besar yang muncul adalah: mengapa China masih bersikeras menggunakan batu bara padahal dunia sedang bergerak ke arah energi hijau? Jawabannya ada pada stabilitas ekonomi dan keamanan energi.
China memiliki cadangan batu bara dalam jumlah besar, sehingga dianggap sebagai sumber energi yang paling aman, stabil, dan murah. Selain itu, sektor manufaktur, baja, dan semen di negara tersebut membutuhkan energi dalam jumlah masif. Energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin memang berkembang pesat, tetapi belum mampu menyuplai kebutuhan industri yang terus meningkat.
Dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 5% di tahun 2025, China memilih jalan pintas: menggunakan batu bara untuk menjaga mesin industrinya tetap berputar.
Rekor konsumsi batu bara China bukan hanya berdampak di dalam negeri, melainkan juga ke seluruh dunia. Begitu angka konsumsi melonjak, harga batu bara internasional naik tajam. Negara-negara importir seperti India, Jepang, dan Korea Selatan merasakan langsung dampaknya.
Tak hanya itu, negara-negara berkembang yang masih bergantung pada energi fosil kini harus menanggung beban ekonomi lebih besar. Kenaikan harga listrik, bahan bakar industri, hingga transportasi tak terhindarkan. Hal ini menciptakan efek domino krisis energi global, yang bahkan mengancam stabilitas politik di beberapa kawasan.
Kata kunci krisis energi global pun menjadi sorotan utama dalam laporan-laporan internasional terkait rekor ini.
Konsekuensi terbesar dari pembakaran batu bara adalah polusi udara. China sudah lama dikenal sebagai salah satu negara dengan kualitas udara terburuk di dunia. Dengan melonjaknya pembakaran batu bara di tahun 2025, masalah ini semakin parah.
Laporan WHO menyebutkan bahwa lebih dari 1 juta warga China meninggal prematur setiap tahunnya akibat polusi udara, mayoritas disebabkan oleh pembakaran batu bara. Kota-kota besar seperti Beijing, Shanghai, dan Tianjin kembali diselimuti kabut asap tebal (smog) yang berbahaya bagi kesehatan pernapasan.
Kata kunci polusi udara China semakin sering dicari publik, karena dunia ingin tahu sejauh mana risiko kesehatan yang dihadapi masyarakat di sana.
Bagi pemerintah China, rekor ini bukan hanya soal energi, melainkan juga ambisi ekonomi. Mereka ingin mempertahankan status sebagai raksasa manufaktur dunia. Namun, setiap keputusan selalu ada konsekuensi.
Meningkatnya konsumsi batu bara berarti meningkat pula emisi karbon. Data terbaru menunjukkan, emisi CO₂ dari China pada 2025 diprediksi menembus 11 miliar ton, jumlah yang setara dengan gabungan emisi dari Eropa dan Amerika Serikat.
Di sisi lain, dunia tengah berjuang menurunkan emisi demi mencapai target Perjanjian Paris. Jika China terus membakar batu bara tanpa rem, target menjaga suhu bumi di bawah 1,5°C bisa gagal total.
Langkah China langsung menuai kritik tajam dari berbagai negara. Uni Eropa menyebut kebijakan energi China sebagai “langkah mundur” dalam perjuangan global melawan krisis iklim. Amerika Serikat bahkan menuduh China menghancurkan kesepakatan Paris Agreement dengan aksi konsumsi batu bara yang tak terkendali.
Organisasi lingkungan internasional seperti Greenpeace dan WWF pun angkat suara. Mereka memperingatkan bahwa dunia sedang berjalan ke arah bencana iklim jika negara sebesar China tidak mau mengurangi ketergantungan pada energi fosil.
Kata kunci dampak lingkungan batu bara mendominasi laporan media, menjadi sinyal bahwa masalah ini bukan lagi isu regional, melainkan global.
Meski tampak suram, harapan masih ada. China sebenarnya juga menjadi pemimpin dunia dalam pembangunan energi terbarukan. Negara ini menguasai lebih dari 70% produksi panel surya dunia, serta menjadi pemasok utama turbin angin.
Pemerintah China berkomitmen untuk mencapai netral karbon pada 2060. Namun, transisi energi memang tidak bisa dilakukan secara instan. Batu bara tetap menjadi penyokong utama hingga teknologi energi terbarukan benar-benar matang.
Solusi yang realistis adalah transisi bertahap. Artinya, penggunaan batu bara memang akan terus ada, tetapi porsinya perlahan berkurang seiring meningkatnya kapasitas energi bersih.
Jika dibandingkan dengan negara lain, konsumsi batu bara China jauh di atas rata-rata. India berada di posisi kedua, namun jumlahnya masih hanya setengah dari konsumsi China. Sementara Amerika Serikat dan negara-negara Eropa justru mengalami penurunan tajam dalam penggunaan batu bara karena beralih ke gas alam dan energi terbarukan.
Perbandingan ini memperlihatkan jurang yang sangat besar. Dunia bergerak ke arah dekarbonisasi, sementara China justru melaju kencang dengan “mesin batu baranya”.
Tidak hanya berdampak pada lingkungan, rekor konsumsi batu bara juga menimbulkan dampak sosial bagi masyarakat. Banyak warga di daerah industri besar China harus hidup dalam kualitas udara buruk, bahkan harus mengenakan masker setiap hari.
Di sisi lain, jutaan lapangan kerja masih bergantung pada industri batu bara. Jika pemerintah langsung menghentikan penggunaannya, maka akan terjadi krisis lapangan kerja. Dilema ini membuat transisi energi semakin rumit.
Para pakar memperkirakan bahwa konsumsi energi dunia akan terus meningkat hingga 2030. Namun, jika China tetap mendominasi dengan batu bara, maka krisis iklim akan semakin sulit diatasi.
Prediksi lain menyebutkan bahwa pada 2035, energi terbarukan baru akan benar-benar mampu menyalip batu bara di China. Artinya, dunia masih harus menghadapi lebih dari satu dekade polusi batu bara sebelum energi bersih benar-benar mengambil alih.
Rekor konsumsi batu bara China di tahun 2025 adalah pisau bermata dua. Di satu sisi, ini menunjukkan ambisi ekonomi luar biasa. Namun di sisi lain, ini juga menimbulkan ancaman nyata bagi lingkungan dan kesehatan global.
Dunia kini menghadapi dilema besar: bagaimana mendorong raksasa industri seperti China untuk mempercepat transisi energi, tanpa menghancurkan stabilitas ekonominya? Pertanyaan ini akan menjadi salah satu isu terbesar dalam percaturan politik global di dekade ini.
by : st
Penyakit kelamin pria sering dianggap tabu, tetapi ketidaktahuan dapat berdampak fatal. Kenali gejala awal untuk…
Seorang wisatawan Australia harus mengeluarkan Rp 69 juta untuk suntik rabies setelah insiden gigitan monyet…
“Simak 5 fakta menarik harga sembako di Sumatra 2025, mulai dari harga beras hingga program…
Karyawati PNM Mekar di Pasangkayu ditemukan tewas dibunuh suami nasabah saat menagih cicilan. Polisi ungkap…
Salah satu bentuk obat yang paling sering digunakan dalam dunia medis adalah painkiller atau obat…
Jakarta Timnas Rusia dipastikan tidak bisa tampil di Piala Dunia 2026. Tuan rumah Piala Dunia…