Raja Ampat di Ambang Kehancuran: Tambang Nikel Ancam Surga Laut Dunia
Raja Ampat, gugusan kepulauan indah di ujung barat Pulau Papua, selama ini di kenal sebagai surga bawah laut dunia. Wilayah ini menaungi lebih dari 1.600 spesies ikan dan 550 spesies karang, menjadikannya pusat keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia. Namun, juga menjadi tumpuan hidup bagi ribuan masyarakat adat dan pelaku wisata lokal.
Dalam beberapa tahun terakhir, surga ini terancam ekspansi tambang nikel di pulau-pulau yang rentan ekologis dan budaya. Aktivitas tambang yang awalnya terbatas di Pulau Gag sejak 2000-an kini meluas ke Kawe, Manuran, dan Batanta. Penolakan keras pun mengalir dari masyarakat adat, pemerhati lingkungan, hingga pelaku industri pariwisata.
Antara Logam Hijau dan Luka Hijau
Nikel kini menjadi komoditas global yang sangat di butuhkan, terutama untuk produksi baterai kendaraan listrik (EV). Indonesia, sebagai produsen nikel terbesar di dunia, berambisi menjadi pemain utama dalam rantai pasok energi bersih. Pemerintah pusat mendorong investasi dan hilirisasi nikel sebagai bagian dari strategi transformasi ekonomi nasional.
Namun ironinya, demi memenuhi permintaan logam hijau dunia, lingkungan alami justru terancam rusak. Di Raja Ampat, tambang memicu deforestasi, sedimentasi laut, dan rusaknya ekosistem yang sebelumnya terjaga.
“Paradoksnya, kita merusak surga konservasi demi membangun teknologi ramah lingkungan. Ini tidak logis,” kata Reza Mahendra, peneliti dari LSM Auriga Nusantara.
Luka yang Terbuka: Kerusakan di Pulau-Pulau Kecil
Laporan terbaru dari Greenpeace Indonesia dan WALHI Papua Barat menyebutkan bahwa lebih dari 500 hektare lahan telah di buka untuk eksplorasi dan operasional tambang, sebagian besar berada di zona yang dekat dengan kawasan konservasi laut.
Citra satelit memperlihatkan peningkatan tambang di Kawe dan Gag, dengan tanah merah mengalir ke laut saat musim hujan. Akibatnya, terumbu karang di beberapa titik tercemar lumpur dan menjadi gersang. Kondisi ini memukul ekosistem laut dan mengancam keberlanjutan spesies endemik.
“Karang berubah jadi coklat. Ikan-ikan besar tidak lagi muncul seperti dulu. Kami nelayan yang paling merasakan dampaknya,” ungkap Yulius Dabet, nelayan senior dari Kampung Selpele.
Selain kerusakan ekologis, kawasan ini juga menyimpan nilai kultural tinggi. Pulau-pulau seperti Kawe adalah tanah adat Suku Maya yang memiliki kearifan lokal dalam mengelola laut secara berkelanjutan selama ratusan tahun. Kini, wilayah itu terusik oleh alat berat dan investor asing.

Protes yang Menguat: Suara dari Akar Rumput
Sejak 2023, berbagai aksi protes muncul dari masyarakat lokal. Di Kawe, masyarakat adat dan tokoh gereja secara terbuka menolak rencana tambang dari perusahaan nasional dan asing. Di Gag, masyarakat menolak perpanjangan izin operasi PT Gag Nikel, anak usaha dari Antam.
“Kami tidak butuh tambang. Kami butuh laut yang bersih, ikan yang banyak, dan tamu wisata yang datang. Itulah emas kami,” tegas Rosita Magablo, pelaku wisata homestay di Pulau Friwen.
Selain masyarakat, mahasiswa Papua di Sorong dan Jayapura juga menggelar aksi solidaritas menuntut pencabutan izin dan penghentian aktivitas ekstraktif di Raja Ampat.
Langkah Pemerintah: Setengah Hati?
Menanggapi kritik publik dan tekanan internasional, Kementerian ESDM pada awal 2025 menghentikan sementara tambang di empat pulau Raja Ampat. Namun langkah ini di nilai belum cukup.
“Penghentian sementara itu ibarat menaruh plester di luka yang dalam. Izin tambang harus di cabut permanen, bukan di tangguhkan,” kata Arif Munandar, juru kampanye laut Greenpeace Indonesia.
Komisi IV DPR RI meminta KLHK mengaudit lingkungan seluruh operasi tambang di Papua Barat. Beberapa anggota DPR mengusulkan revisi aturan izin tambang pulau kecil agar Raja Ampat mendapat perlindungan hukum lebih kuat.
Masa Depan Raja Ampat: Di Ujung Tanduk
Dengan pendapatan daerah yang bertumpu pada sektor wisata, dampak tambang nikel bukan sekadar masalah lingkungan. Kehancuran ekosistem laut berarti ancaman langsung terhadap ekonomi rakyat, sosial budaya, dan posisi Indonesia di mata dunia sebagai pemilik kawasan laut paling kaya di bumi.
Jika di kelola dengan benar, Raja Ampat memiliki potensi menjadi pusat ekowisata berkelanjutan kelas dunia. Namun jika di biarkan, aktivitas tambang yang serampangan dapat mengubahnya menjadi kawasan rusak dan penuh konflik sumber daya.
Penutup: Harapan dan Tindakan
Masyarakat Raja Ampat, aktivis lingkungan, akademisi, dan banyak pihak di Indonesia terus menyuarakan satu hal: hentikan tambang nikel di pulau-pulau kecil Raja Ampat. Dunia membutuhkan logam hijau, tetapi tidak dengan mengorbankan satu-satunya surga laut terakhir di bumi.
“Kami ingin anak cucu kami masih bisa berenang di laut yang biru, melihat ikan pari dan hiu, bukan hanya sisa tambang.”
— Maria Sawor, Guru SD di Pulau Arborek
Writter By : Andrew