Pernyataan mengejutkan datang dari Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Purbaya Yudhi Sadewa. Ia secara terbuka menilai bahwa Pertamina terkesan malas-malasan dalam membangun kilang minyak di Indonesia. Kritik keras ini sontak menggegerkan publik, mengingat pembangunan kilang merupakan proyek vital untuk ketahanan energi nasional.
Purbaya menyoroti bahwa sejak bertahun-tahun lalu, rencana pembangunan dan modernisasi kilang minyak sudah digaungkan. Namun, realisasinya masih sangat minim. Padahal, kebutuhan energi Indonesia terus meningkat seiring pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk.
Kilang minyak memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia. Dari sanalah bahan bakar minyak (BBM) diolah dan diproduksi untuk kebutuhan transportasi, industri, hingga rumah tangga. Tanpa kilang yang memadai, Indonesia akan terus bergantung pada impor BBM, yang pada akhirnya membebani neraca perdagangan dan menggerus cadangan devisa.
Purbaya menekankan bahwa ketergantungan Indonesia terhadap impor BBM merupakan ancaman serius bagi kedaulatan energi. Sayangnya, progres pembangunan kilang Pertamina masih jauh dari harapan.
Dalam beberapa tahun terakhir, Pertamina telah menggagas berbagai proyek besar seperti Refinery Development Master Plan (RDMP) dan Grass Root Refinery (GRR). Beberapa lokasi seperti Balikpapan, Tuban, hingga Cilacap masuk dalam daftar proyek strategis nasional.
Namun, realisasinya berjalan lambat. Beberapa proyek bahkan mengalami penundaan karena masalah pendanaan, teknis, hingga urusan birokrasi. Inilah yang membuat Purbaya akhirnya melontarkan kritik tajam bahwa Pertamina terlihat tidak serius atau malas-malasan dalam menyelesaikan proyek kilang.
Ketidakseriusan dalam membangun kilang berdampak langsung terhadap perekonomian Indonesia. Saat ini, sekitar 35% kebutuhan BBM Indonesia masih dipenuhi dari impor. Ketergantungan ini membuat Indonesia sangat rentan terhadap fluktuasi harga minyak dunia dan nilai tukar rupiah terhadap dolar.
Jika pembangunan kilang terus tertunda, Indonesia bisa semakin terjepit. Di satu sisi kebutuhan energi meningkat, sementara di sisi lain ketergantungan impor tak kunjung berkurang.
Kritik dari Purbaya seolah menjadi “alarm keras” bagi Pertamina dan pemerintah. Sebagai pejabat publik yang juga memiliki latar belakang ekonomi, ia melihat lambannya pembangunan kilang bukan sekadar masalah teknis, tetapi juga masalah komitmen.
Menurutnya, Indonesia tidak bisa selamanya mengandalkan impor. Kilang harus segera dibangun untuk menjamin ketersediaan energi dalam jangka panjang.
Meski kritik ini cukup tajam, pihak Pertamina biasanya memberikan klarifikasi bahwa pembangunan kilang adalah proyek raksasa yang membutuhkan dana sangat besar, teknologi tinggi, serta kerja sama dengan mitra internasional. Proyek RDMP Balikpapan misalnya, disebut-sebut menelan biaya lebih dari USD 5 miliar.
Pertamina juga menyatakan bahwa pandemi COVID-19 sempat memperlambat proses pembangunan karena adanya pembatasan mobilitas dan kenaikan harga bahan baku. Namun, alasan ini dianggap sebagian pihak sudah tidak relevan lagi di tahun-tahun terakhir.
Beberapa pengamat energi turut angkat bicara. Mereka menilai bahwa kritik Purbaya ada benarnya. Sudah puluhan tahun Indonesia tidak membangun kilang baru, padahal kebutuhan energi meningkat drastis. Negara-negara lain di kawasan Asia justru gencar membangun infrastruktur energi mereka, sementara Indonesia tertinggal.
Pengamat juga menilai bahwa selain masalah teknis, ada persoalan tata kelola yang perlu dibenahi di tubuh Pertamina. Mulai dari sistem pengadaan, kerja sama dengan investor asing, hingga keberanian manajerial dalam mengeksekusi proyek.
Jika kilang tak kunjung dibangun, ketahanan energi Indonesia terancam. Krisis energi global, perang geopolitik, hingga lonjakan harga minyak dunia bisa membuat Indonesia kelabakan jika pasokan BBM impor terganggu.
Purbaya mengingatkan bahwa tanpa kemandirian energi, Indonesia bisa menghadapi risiko besar. Negara sebesar Indonesia seharusnya tidak boleh terlalu bergantung pada impor energi.
Publik kini menaruh harapan besar agar Pertamina benar-benar serius menuntaskan proyek pembangunan kilang. Bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan energi, tapi juga sebagai bentuk kedaulatan bangsa. Dengan kilang baru, Indonesia bisa mengurangi impor, menekan defisit transaksi berjalan, sekaligus menciptakan lapangan kerja baru.
Dalam kesempatan yang sama, Purbaya menegaskan bahwa Pertamina harus keluar dari zona nyaman. Rencana besar yang selama ini hanya ada di atas kertas harus segera diwujudkan. Tanpa aksi nyata, Indonesia akan selalu terjebak dalam lingkaran impor BBM.
Kritik keras ini diharapkan menjadi cambuk bagi Pertamina untuk bergerak lebih cepat. Sebab, masalah energi adalah masalah vital yang menyangkut masa depan bangsa.
Pernyataan Purbaya yang menyebut Pertamina “malas-malasan” membangun kilang mungkin terdengar keras. Namun, di balik kritik itu ada pesan penting: Indonesia tidak boleh terus bergantung pada impor energi. Pertamina, sebagai perusahaan energi terbesar di negeri ini, memikul tanggung jawab besar untuk mewujudkan kemandirian energi.
Kini, publik menunggu apakah kritik ini akan benar-benar membuat Pertamina bergerak lebih cepat. Sejarah akan mencatat apakah kritik Purbaya hanyalah angin lalu, atau menjadi titik balik dalam perjalanan pembangunan energi Indonesia.
Pendahuluan: Aksi Penuh Risiko dari Seorang Anak Dunia penerbangan kembali diguncang oleh sebuah peristiwa yang…
Chelsea dan Benfica akan berjumpa pada matchday 2 league phase Liga Champions 2025/2026. Pertandingan fase liga UCL (UEFA Champions League)…
Pendahuluan: Ancaman Lama, Wajah Baru Lima tahun setelah dunia pertama kali diguncang oleh pandemi global…
Suasana Pagi yang Penuh Khidmat Tanggal 1 Oktober selalu menjadi momen sakral bagi bangsa Indonesia.…
Pendahuluan Banyak pasangan suami istri yang mendambakan hadirnya buah hati segera setelah menikah. Namun, perjalanan…
dalam memilih makanan dan menjalani gaya hidup sehat. Dengan rutin mengonsumsi lima jenis makanan sehat…