Categories: Trending

5 Fakta Mengejutkan di Balik Penataan Permukiman Jati Bunder: Program Unggulan yang Ubah Wajah Kawasan!

Permukiman Jati Bunder: Program Unggulan yang Ubah Wajah Kawasan!

Jakarta — Kawasan Permukiman Jati Bunder, yang selama ini dikenal sebagai salah satu titik padat penduduk di Jakarta Pusat, kini menjadi sorotan publik. Pemerintah memastikan bahwa kawasan ini masuk dalam Program Penataan Permukiman Prioritas tahun 2025. Langkah tersebut disebut-sebut akan mengubah wajah Jati Bunder menjadi lingkungan yang lebih layak, tertata, dan manusiawi.

Program ini bukan sekadar proyek fisik semata. Di balik rencana besar tersebut, terdapat sederet fakta menarik yang jarang diketahui publik. Mulai dari alasan strategis pemilihan kawasan, nilai investasi penataan yang fantastis, hingga dampak sosial yang sangat signifikan bagi warga sekitar.

Berikut lima fakta mengejutkan di balik penataan Permukiman Jati Bunder yang akan membuka mata banyak pihak.


1. Permukiman Padat yang Menjadi Simbol Ketimpangan Kota

Permukiman Jati Bunder selama bertahun-tahun dikenal sebagai zona padat penduduk yang berdiri di antara hiruk-pikuk aktivitas ekonomi ibu kota. Terletak di wilayah strategis, kawasan ini berbatasan langsung dengan jalur transportasi utama dan kawasan bisnis, namun ironisnya, kondisi hunian di sini jauh dari kata layak.

Data dari Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (PRKP) DKI Jakarta mencatat bahwa lebih dari 65 persen rumah di Jati Bunder berdiri di atas lahan sempit, sebagian tanpa izin bangunan yang sah. Banyak hunian berdempetan tanpa ventilasi cukup, drainase buruk, dan akses sanitasi yang terbatas.

Kondisi ini menjadikan Jati Bunder sebagai potret nyata ketimpangan urban di tengah kota megapolitan. Ketika gedung-gedung tinggi menjulang di sekitar Tanah Abang dan Sudirman, kawasan permukiman rakyat seperti Jati Bunder justru masih berjuang dengan persoalan klasik: air bersih, sanitasi, dan kepadatan.

Warga seperti Sutrisno (54), yang telah tinggal di kawasan tersebut selama 30 tahun, mengaku lega mendengar rencana penataan itu akhirnya terealisasi.

“Kami sudah lama dengar kabar penataan, tapi baru sekarang serius. Semoga bukan hanya janji,” ujarnya kepada wartawan, Jumat (11/10/2025).

Langkah ini menjadi momentum penting untuk menjawab tantangan urbanisasi yang makin kompleks di ibu kota.


2. Anggaran Penataan Mencapai Rp 85 Miliar, Termasuk Fasilitas Sosial Modern

Tak banyak yang tahu, proyek penataan permukiman Jati Bunder ini digarap dengan skema anggaran besar. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui PRKP bekerja sama dengan Kementerian PUPR dan Badan Pengelola Infrastruktur Wilayah (BPIW), mengalokasikan total Rp 85 miliar untuk tahap awal penataan.

Rinciannya, sekitar:

  • Rp 40 miliar digunakan untuk pembangunan infrastruktur dasar, seperti saluran air, drainase, jalan lingkungan, dan penerangan umum.

  • Rp 25 miliar untuk pembangunan hunian vertikal ramah lingkungan (rusun sederhana sewa).

  • Rp 10 miliar untuk pengadaan fasilitas sosial, seperti taman kota, ruang publik, dan balai warga.

  • Rp 10 miliar sisanya untuk kegiatan pendampingan sosial, pelatihan warga, dan relokasi sementara.

Kepala Dinas PRKP DKI Jakarta, Agus Suharjo, menjelaskan bahwa penataan Jati Bunder tidak sekadar mengubah fisik kawasan, tapi juga menata perilaku dan ekonomi masyarakatnya.

“Kita ingin menciptakan model permukiman baru yang berkelanjutan. Warga bukan hanya punya rumah layak, tapi juga akses terhadap pekerjaan, pendidikan, dan lingkungan sehat,” ungkapnya.

Konsep permukiman inklusif ini diharapkan dapat menjadi percontohan untuk kawasan lain di Jakarta yang menghadapi permasalahan serupa.


3. Ada Program Relokasi Bertahap dan Tanpa Penggusuran Paksa

Fakta ketiga yang menarik adalah: penataan Jati Bunder dilakukan tanpa penggusuran paksa. Pemerintah menegaskan bahwa seluruh proses relokasi warga dilakukan secara bertahap dan humanis.

Skema ini mengedepankan musyawarah warga, di mana masyarakat dilibatkan dalam setiap tahap perencanaan — mulai dari pendataan rumah, pembagian blok, hingga desain rusun yang akan ditempati.

Dalam rapat koordinasi yang digelar pada akhir September 2025, Pemprov DKI menyepakati bahwa warga yang terdampak langsung penataan akan mendapat kompensasi relokasi sementara di rumah susun milik pemerintah yang terdekat, seperti Rusun Tanah Abang dan Rusun Petamburan. Setelah kawasan Jati Bunder selesai ditata, warga akan kembali menempati unit baru di lokasi yang sama.

Menurut Koordinator RW 06 Jati Bunder, Ibu Siti Kurniasih, warga kini mulai menerima program tersebut karena pemerintah menjamin tidak ada tindakan represif.

“Dulu warga khawatir digusur seperti kejadian tahun-tahun lalu. Tapi kali ini pemerintah datang dengan pendekatan baru, dialogis dan terencana. Itu membuat kami lebih tenang,” katanya.

Pendekatan sosial ini mendapat apresiasi dari berbagai pihak, termasuk LSM Urban Reform Center (URC), yang menilai program ini bisa menjadi contoh penataan permukiman tanpa konflik.


4. Permukiman Penataan Berbasis Konsep Smart Living dan Green Urban Village

Fakta keempat yang mengejutkan adalah penerapan konsep “Smart Living” dan “Green Urban Village” dalam penataan Jati Bunder. Ini bukan sekadar jargon, tetapi langkah nyata menuju kawasan hunian cerdas dan ramah lingkungan.

Kementerian PUPR bersama Pemprov DKI mengadopsi teknologi pintar untuk pengelolaan air limbah, penerangan jalan berbasis sensor, hingga sistem keamanan terintegrasi.

Beberapa fitur yang dirancang untuk kawasan ini antara lain:

  • Smart LED Street Lighting yang dapat menghemat energi hingga 60%.

  • Sistem Pengelolaan Air Hujan (rain harvesting) untuk kebutuhan air non-minum warga.

  • Bank Sampah Digital, di mana warga bisa menukar sampah terpilah dengan saldo elektronik.

  • Taman vertikal dan jalur hijau di setiap blok permukiman.

  • Kawasan bebas kendaraan bermotor di area inti lingkungan untuk mengurangi polusi.

Selain itu, pemerintah juga menggandeng perguruan tinggi untuk memastikan desainnya sesuai prinsip urban resilience. Salah satunya, Universitas Trisakti melalui Fakultas Arsitektur, memberikan masukan mengenai tata ruang yang beradaptasi terhadap perubahan iklim.

“Konsep permukiman modern tidak cukup hanya rapi dan bersih. Harus adaptif terhadap cuaca ekstrem dan mendukung interaksi sosial yang sehat,” ujar Dr. Rahmawati, ahli tata kota dari Universitas Trisakti.

Dengan konsep ini, Jati Bunder akan menjadi kawasan percontohan permukiman cerdas di tengah kota — tempat di mana teknologi dan kehidupan sosial bisa berjalan harmonis.


5. Diharapkan Jadi Role Model Nasional Penataan Permukiman Kumuh

Pemerintah menargetkan Jati Bunder menjadi “model nasional” untuk penataan permukiman kumuh di kawasan perkotaan. Program ini termasuk dalam Agenda Strategis Penataan 100 Kawasan Prioritas Nasional 2025–2027, yang dicanangkan oleh Kementerian PUPR.

Dari total 100 kawasan tersebut, hanya 5 yang berada di Jakarta, dan Jati Bunder menjadi satu-satunya kawasan di Jakarta Pusat yang lolos seleksi.

Direktur Pengembangan Permukiman Kementerian PUPR, Ir. Dedi Prasetyo, menjelaskan bahwa Jati Bunder dipilih karena memiliki kompleksitas tinggi: kepadatan penduduk, keterbatasan lahan, serta potensi ekonomi yang besar di sekitar Tanah Abang.

“Kalau Jati Bunder berhasil ditata, itu berarti kita punya formula yang bisa diterapkan di kota-kota lain seperti Surabaya, Medan, dan Makassar,” katanya.

Penataan ini juga diharapkan mampu mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), terutama poin ke-11, yaitu Kota dan Permukiman yang Berkelanjutan.

Tak hanya soal fisik, transformasi sosial juga menjadi fokus utama. Pemerintah melibatkan warga dalam pelatihan keterampilan, seperti pengelolaan UMKM, pengolahan sampah, hingga pengembangan ekonomi lokal berbasis komunitas.

Program “Warga Berdaya, Kawasan Berjaya” menjadi semboyan baru yang kini digaungkan di tengah warga Jati Bunder.


Respons Warga: Antara Harapan dan Kekhawatiran

Meski mayoritas warga menyambut positif, sebagian tetap menaruh kekhawatiran terhadap proses dan hasil akhirnya.

Bagi Nurhayati (39), ibu rumah tangga yang telah tinggal di gang sempit Jati Bunder selama dua dekade, penataan ini ibarat “angin segar setelah kemarau panjang.”

“Kalau bisa benar-benar jadi, kami senang. Tapi kami ingin tetap bisa tinggal di sini, bukan dipindah jauh. Kami hidup dari warung kecil di depan rumah,” ujarnya.

Sementara itu, bagi pedagang kaki lima seperti Jumadi (46), tantangannya adalah memastikan mereka tidak kehilangan sumber penghasilan.

“Kalau rumahnya jadi bagus tapi kami nggak bisa dagang di sekitar sini, susah juga,” keluhnya.

Pemerintah pun menyadari tantangan tersebut. Karena itu, disiapkan zona ekonomi rakyat di sekitar kawasan baru, yang akan menjadi tempat bagi pedagang kecil berjualan dengan sistem tertib dan bersih.

Dengan begitu, penataan permukiman bukan berarti menghapus kehidupan ekonomi warga, melainkan mengubahnya menjadi lebih tertata dan berdaya saing.


Penataan Tahap Pertama Dimulai Akhir 2025

Berdasarkan rencana kerja, tahap pertama penataan fisik Jati Bunder akan dimulai pada Desember 2025, setelah proses konsultasi publik dan pembebasan lahan selesai.

Tahap ini meliputi:

  1. Perbaikan jaringan air dan listrik.

  2. Pembangunan drainase baru.

  3. Penataan jalan lingkungan.

  4. Pembangunan rusun tahap pertama dengan kapasitas 300 unit.

Tahap berikutnya akan berlanjut hingga 2027, mencakup pembangunan ruang publik, area hijau, dan pusat kegiatan ekonomi warga.

Kepala Suku Dinas PRKP Jakarta Pusat, Hendro Wibowo, menegaskan bahwa seluruh proses akan dilakukan dengan transparan dan terbuka untuk pengawasan publik.

“Kami ingin Jati Bunder menjadi simbol keberhasilan kolaborasi antara pemerintah dan warga. Penataan ini bukan proyek sesaat, tapi warisan jangka panjang,” ujarnya.


Dampak Sosial-Ekonomi: Lebih dari Sekadar Bangunan Baru

Selain aspek infrastruktur, penataan permukiman Jati Bunder juga diyakini akan memberikan dampak ekonomi signifikan bagi masyarakat setempat.

Studi yang dilakukan oleh Pusat Kajian Perkotaan UI memperkirakan bahwa setelah penataan rampung, nilai ekonomi kawasan dapat meningkat hingga 120 persen dibanding kondisi saat ini. Hal itu terjadi karena meningkatnya nilai tanah, peluang usaha baru, serta meningkatnya daya tarik investasi di sekitar Tanah Abang.

Selain itu, kualitas hidup warga diproyeksikan meningkat karena:

  • Akses ke air bersih dan sanitasi membaik.

  • Risiko banjir berkurang hingga 70%.

  • Ruang interaksi sosial lebih luas.

  • Kesempatan kerja meningkat melalui sektor informal dan UMKM.

Dampak ini menunjukkan bahwa penataan permukiman bukan sekadar mempercantik lingkungan, tapi juga mendorong pertumbuhan sosial-ekonomi yang berkelanjutan.


Tantangan: Antara Kepadatan dan Keterbatasan Lahan

Namun, penataan kawasan padat seperti Jati Bunder tentu tidak tanpa tantangan. Faktor terbesar adalah keterbatasan lahan.

Luas total kawasan yang akan ditata hanya sekitar 3,5 hektare, sementara jumlah penduduk mencapai lebih dari 7.800 jiwa. Artinya, dibutuhkan inovasi dalam desain ruang vertikal agar semua warga tetap mendapatkan tempat tinggal yang layak tanpa harus dipindahkan jauh.

Selain itu, tantangan sosial seperti resistensi warga terhadap perubahan, kekhawatiran soal biaya sewa rusun, serta keberlanjutan program pascapenataan juga menjadi perhatian serius.

Pemerintah berencana membentuk Forum Warga Jati Bunder sebagai wadah komunikasi dan pengawasan publik agar suara masyarakat tetap terwakili dalam setiap proses pembangunan.


Kesimpulan: Harapan Baru untuk Wajah Permukiman Ibu Kota

Transformasi Permukiman Jati Bunder bukan sekadar proyek pembangunan. Ia merupakan simbol dari tekad pemerintah untuk menghadirkan keadilan ruang dan lingkungan layak huni bagi semua lapisan masyarakat.

Dari fakta-fakta di atas, terlihat jelas bahwa penataan ini mencakup berbagai aspek — mulai dari fisik, sosial, ekonomi, hingga teknologi. Jika berjalan sesuai rencana, Jati Bunder bukan hanya akan menjadi kawasan permukiman yang tertata, tetapi juga ikon baru urban renewal di tengah kota Jakarta.

Sebagaimana disampaikan Gubernur DKI Jakarta dalam konferensi pers terbaru:

“Penataan Jati Bunder bukan sekadar membangun rumah, tapi membangun kehidupan. Inilah masa depan permukiman Jakarta — inklusif, hijau, dan berkelanjutan.”

Harapan Baru dari Kolaborasi Pemerintah dan Warga

Salah satu kekuatan utama dari penataan Permukiman Jati Bunder adalah model kolaboratif yang diterapkan antara pemerintah, lembaga sosial, dan masyarakat setempat. Program ini tidak lagi bersifat top-down seperti kebanyakan proyek pembangunan masa lalu. Sebaliknya, pemerintah mendorong sistem kolaborasi partisipatif, di mana warga berperan aktif dalam setiap tahapan — mulai dari perencanaan, implementasi, hingga pengawasan hasil.

Menurut Direktur Program Pemberdayaan Masyarakat DKI Jakarta, Nina Rahmadani, pelibatan warga merupakan kunci sukses penataan kawasan permukiman.

“Kita belajar dari pengalaman sebelumnya bahwa pembangunan tanpa suara warga seringkali gagal. Di Jati Bunder, warga justru menjadi mitra utama pemerintah,” ujarnya.

Dalam proses tersebut, Pemprov DKI menggandeng berbagai pihak non-pemerintah, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Habitat Indonesia, Bank Dunia melalui program Urban Resilience, serta sejumlah komunitas arsitek muda yang membantu warga merancang rumah ramah lingkungan dengan biaya efisien.

Hasil kolaborasi ini melahirkan desain kawasan yang unik: memadukan unsur lokal, budaya masyarakat urban, dan teknologi modern. Setiap blok permukiman dirancang agar memiliki ruang terbuka hijau, jalur pejalan kaki, serta titik interaksi sosial yang mudah diakses.


Program Pemberdayaan Ekonomi Lokal: Dari Kampung Kumuh ke Kampung Produktif

Selain aspek fisik, pemerintah juga menggulirkan program “Kampung Produktif Jati Bunder”, yang berfokus pada peningkatan ekonomi masyarakat pasca-penataan.

Program ini mencakup beberapa inisiatif unggulan, antara lain:

  1. Pelatihan Kewirausahaan Mikro — bagi warga yang ingin membuka usaha mandiri setelah relokasi.

  2. Koperasi Warga Digital — sistem simpan pinjam berbasis aplikasi, mempermudah akses modal usaha kecil.

  3. Pelatihan Daur Ulang Sampah — menciptakan peluang bisnis dari limbah plastik dan organik.

  4. Pasar Komunitas — ruang usaha kecil di dalam kawasan yang dikelola oleh warga.

Ketua Kelompok Usaha Bersama (KUB) Jati Bunder, Darto Nugroho, mengatakan bahwa penataan permukiman ini membuka peluang baru bagi warga untuk meningkatkan taraf hidup.

“Dulu, banyak warga hanya jadi buruh harian. Sekarang, dengan pelatihan dan fasilitas baru, kami bisa mulai usaha sendiri,” katanya.

Dalam jangka panjang, pemerintah berharap Jati Bunder dapat menjadi “Permukiman Mandiri Ekonomi”, di mana warga tidak hanya tinggal di lingkungan yang layak, tapi juga mampu menghasilkan nilai ekonomi dari komunitasnya sendiri.

Permukiman Jati Bunder jadi program unggulan Pemprov DKI. Kawasan kumuh diubah jadi hunian modern, hijau, dan berkelanjutan

Aspek Lingkungan: Mengembalikan Fungsi Alam di Tengah Kota

Tak kalah penting, aspek lingkungan hidup menjadi perhatian utama dalam penataan Permukiman Jati Bunder. Kawasan ini dulunya rawan banjir karena drainase buruk dan minimnya ruang hijau. Kini, dengan konsep Eco-Urban Village, pemerintah menata ulang sistem air hujan, memperbanyak sumur resapan, dan membangun taman vertikal di area padat bangunan.

Program ini juga melibatkan warga dalam kegiatan “Gotong Royong Hijau”, yaitu aksi rutin membersihkan saluran air, menanam pohon, dan mengelola bank sampah. Dengan cara itu, kesadaran lingkungan tidak berhenti di level proyek, tapi tumbuh menjadi budaya kolektif.

Ahli lingkungan dari Universitas Indonesia, Prof. Eko Wahyudi, menilai Jati Bunder bisa menjadi tonggak penting dalam mengubah paradigma pengelolaan kota.

“Kalau berhasil, ini bukan hanya penataan fisik, tapi transformasi ekologi sosial. Permukiman padat bisa menjadi ekosistem hijau baru di tengah beton Jakarta,” tuturnya.


Mengapa Jati Bunder Penting bagi Masa Depan Jakarta

Keberhasilan penataan Permukiman Jati Bunder memiliki arti strategis yang lebih besar dari sekadar pembangunan lokal. Kawasan ini berfungsi sebagai proyek percontohan (pilot project) untuk visi Jakarta pasca-2025, ketika status ibu kota secara resmi beralih ke Ibu Kota Nusantara (IKN).

Dengan transisi itu, Jakarta diarahkan menjadi kota global yang berorientasi pada keberlanjutan dan kesejahteraan warganya. Maka, proyek seperti Jati Bunder menjadi simbol bahwa kota ini masih berkomitmen untuk menata diri — bukan hanya membangun gedung, tetapi juga memanusiakan ruang hidup.

“Kalau Jakarta bisa menata permukiman padat seperti Jati Bunder, artinya kota ini masih punya masa depan,” ujar Pengamat Tata Kota Yayat Supriatna. “Karena kota yang baik bukan diukur dari seberapa tinggi gedungnya, tapi seberapa layak warganya hidup.”


Arah Kebijakan Nasional: Menuju Indonesia Bebas Permukiman Kumuh 2030

Transformasi di Jati Bunder juga sejalan dengan target nasional: Indonesia Bebas Permukiman Kumuh 2030. Pemerintah pusat menargetkan seluruh daerah memiliki sistem perumahan yang layak, terjangkau, dan ramah lingkungan.

Kementerian PUPR mencatat bahwa hingga 2024, masih ada sekitar 24.000 hektare kawasan kumuh di Indonesia. Dari jumlah itu, 40 persen berada di wilayah perkotaan besar, termasuk Jakarta, Surabaya, dan Medan.

Melalui kolaborasi lintas kementerian, dana alokasi khusus (DAK) untuk perbaikan permukiman ditingkatkan hingga Rp 9 triliun pada tahun anggaran 2025. Program ini difokuskan pada peningkatan kualitas lingkungan, air bersih, dan pengendalian banjir.

Jati Bunder, dengan pendekatan komprehensifnya, menjadi contoh nyata bagaimana sebuah kawasan bisa keluar dari status “kumuh” tanpa harus mengorbankan identitas dan kehidupan sosial warganya.


Penutup: Dari Jati Bunder untuk Indonesia yang Lebih Manusiawi

Ketika proyek ini rampung nanti, Permukiman Jati Bunder diharapkan tidak hanya menjadi tempat tinggal yang nyaman, tetapi juga simbol perubahan arah pembangunan kota — dari pendekatan teknokratis menjadi pendekatan kemanusiaan.

Wajah baru Jati Bunder akan menjadi bukti bahwa perubahan besar bisa dimulai dari kawasan kecil, selama ada kemauan politik, kolaborasi masyarakat, dan visi yang berkelanjutan.

Sebagaimana diungkapkan oleh salah satu warga muda, Rizky (27), yang kini aktif dalam komunitas pemuda Jati Bunder:

“Kami ingin kampung ini bukan hanya dikenal karena padat dan kumuh, tapi karena berhasil bangkit dan jadi contoh bagi tempat lain.”

Dari lorong-lorong sempit menuju jalan yang lebih hijau dan teratur, Jati Bunder sedang menulis bab baru dalam sejarah urban Jakarta — sebuah kisah tentang permukiman yang bertransformasi menjadi harapan.

Hasil kolaborasi ini melahirkan desain kawasan yang unik: memadukan unsur lokal, budaya masyarakat urban, dan teknologi modern. Setiap blok permukiman dirancang agar memiliki ruang terbuka hijau, jalur pejalan kaki, serta titik interaksi sosial yang mudah diakses.

Update24

Recent Posts

🖥️ 5 Tanda Awal Mata Lelah Digital yang Sering Diabaikan

Sering mata kering, buram, atau pusing setelah menatap layar? Waspadai tanda-tanda mata lelah digital dan…

44 menit ago

Mengenal Briket Dari Limbah Jadi Sumber Energi Bersih

1. Pendahuluan: Energi dan Tantangan Lingkungan Saat ini, kebutuhan energi dunia terus meningkat, sementara sumber…

1 jam ago

7 Fakta Mengejutkan tentang Laga Hidup Mati Timnas Indonesia vs Irak

Pendahuluan Pertandingan Timnas Indonesia menghadapi Irak malam ini bukan sekadar laga biasa. Ini adalah partai…

10 jam ago

7 Pilihan Makanan Penurun Gula Darah yang Terbukti Efektif

Kadar gula darah yang tinggi memang bisa diatasi dengan mengonsumsi obat. Namun, itu saja tidak…

13 jam ago