Payment ID menghubungkan rekening bank, e-wallet, QRIS, dan metode pembayaran digital lainnya langsung ke NIK pemilik, menciptakan ekosistem transaksi yang terintegrasi.
Payment ID itu bukan transaksi digitalnya langsung, tapi sistem identitas pembayaran digital.
Jadi gini:
Transaksi digital = kegiatan kirim/terima uang secara online (contoh: transfer bank, bayar pakai e-wallet, QRIS, belanja online).
Payment ID = semacam ID unik yang menghubungkan semua transaksi digital itu dengan NIK milik kita.
Artinya, semua transaksi digital kamu (rekening bank, e-wallet, QRIS, pinjaman online) bisa dilihat dan dianalisis lewat Payment ID yang terhubung ke NIK.
Pemerintah akan meluncurkan sistem Payment ID pada 17 Agustus 2025, yang menghubungkan seluruh transaksi digital—mulai dari rekening bank, dompet elektronik, QRIS, hingga pinjaman online—dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Dengan integrasi ini, otoritas pajak dapat memantau transaksi secara real-time. Langkah ini memicu perdebatan: apakah ini langkah maju menuju inklusi keuangan, atau justru bentuk pengawasan berlebihan yang membebani masyarakat?
Dosen dan pakar ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya), Arin Setyowati, menilai Payment ID memiliki dua sisi yang perlu dicermati.
“Jangan melihatnya hanya sebagai alat pemantauan pajak. Jika dirancang adil dan transparan, Payment ID bisa menjadi gerbang menuju inklusi keuangan,” tegas Arin dalam keterangan resmi UM Surabaya, Minggu (10/8/2025).
Arin menjelaskan, ekonomi digital Indonesia berkembang pesat. Diperkirakan nilai transaksi digital nasional akan menembus USD 130 miliar pada 2025, dengan pertumbuhan rata-rata 19% per tahun. Dalam konteks ini, Payment ID dapat memperkuat kepercayaan investor, menutup celah transaksi ilegal, dan meningkatkan kualitas data ekonomi nasional.
Meski berpotensi positif, kebijakan ini memunculkan kekhawatiran besar di kalangan masyarakat.
Banyak pengguna media sosial khawatir setiap transaksi akan otomatis dikenakan pajak. Kekhawatiran lain muncul soal keamanan data, mengingat Indonesia beberapa kali mengalami kasus kebocoran data besar.
Arin mengingatkan bahwa Payment ID seharusnya menjadi alat pemberdayaan ekonomi. Data transaksi, misalnya, dapat membantu bank dan fintech menilai kelayakan kredit pelaku UMKM yang sebelumnya sulit mengakses pembiayaan karena minim riwayat transaksi resmi.
“Ini pernah diuji dalam penyaluran bantuan sosial nontunai. Data transaksi digital membantu menyalurkan bantuan lebih tepat sasaran. Artinya, Payment ID bisa memberi manfaat balik kepada masyarakat,” jelasnya.
Bank Indonesia menegaskan sistem ini berbasis consent-based atau persetujuan pengguna, dan telah disesuaikan dengan UU Perlindungan Data Pribadi.
Namun, Arin menilai tanpa pengawasan independen yang ketat, risiko penyalahgunaan tetap ada. Negara akan memegang basis data keuangan yang sangat sensitif, sehingga perlindungan privasi harus menjadi prioritas utama.
“Tanpa jaminan privasi yang kuat, kepercayaan publik akan sulit dibangun,” tegasnya.
Arin menilai pemerintah harus menjalankan kebijakan ini secara bertahap. Masyarakat perlu paham bahwa tidak semua transaksi otomatis kena pajak. Fokus pemantauan sebaiknya diarahkan pada pelaku ekonomi besar dan penghindar pajak, bukan transaksi rumah tangga.
Sosialisasi masif penting agar publik mengerti manfaat dan batasan dari Payment ID.
Pemerintah perlu menetapkan nilai minimum transaksi yang menjadi acuan sebelum data digunakan untuk kepentingan pajak.
Langkah ini akan melindungi UMKM dan penerima remitansi dari beban berlebihan, sekaligus memastikan pajak menyasar pelaku usaha berskala besar.
Data yang terkumpul harus diarahkan untuk memberikan manfaat langsung, seperti akses kredit murah, subsidi yang tepat sasaran, dan program bantuan sosial yang lebih efektif.
Dengan begitu, masyarakat akan melihat Payment ID bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai fasilitas yang membantu kehidupan mereka.
Arin menegaskan, Payment ID adalah kebijakan dengan potensi ganda. Jika dijalankan inklusif, transparan, dan berkeadilan, sistem ini dapat menjadi infrastruktur keuangan bersama yang aman bagi seluruh warga negara.
Namun, jika dijalankan tanpa pengawasan ketat dan perlindungan privasi yang kuat, Payment ID berisiko menjadi alat kontrol yang memicu resistensi publik.
“Negara harus jelas berpihak—melindungi kelompok kecil dan rentan, sekaligus menindak tegas penghindaran pajak berskala besar,” tutup Arin.
Dengan kata lain, masa depan Payment ID akan ditentukan oleh bagaimana pemerintah membangun kepercayaan publik. Jika berhasil, Indonesia akan memiliki fondasi ekonomi digital yang kokoh, inklusif, dan aman bagi semua.
Kesimpulan :
Bagi pengguna harian, Payment ID akan terasa dalam berbagai transaksi. Seorang pemilik warung kopi di Surabaya, misalnya, bisa lebih mudah mengajukan pinjaman modal karena seluruh pembayaran QRIS dan e-wallet-nya tercatat resmi. Di sisi lain, pekerja migran yang rutin mengirim uang ke keluarga dapat memastikan dana mereka tercatat dan terlindungi. Namun, konsumen yang mengutamakan privasi harus lebih cermat mengatur persetujuan akses data untuk menjaga keamanan informasi pribadinya.
Tdak seimua orang dapat menikmati udara, cuaca, atau suhu dingin. Selain menggigil karena kedinginan, beberapa…
Tiket dinamis Piala Dunia 2026 mirip dengan mekanisme tiket pesawat atau hotel Tahap distribusi tiket…
Buah belimbing, atau dikenal juga dengan nama star fruit karena bentuknya menyerupai bintang ketika dipotong…
Polri Tetapkan 1 Tersangka Baru : Kasus Tambang Ilegal Batu Bara Rp 5,7 T di…
Kami berkomitmen menghadirkan hunian dan proyek properti di lokasi strategis dengan standar kualitas tinggi, dirancang…