Pernikahan sering disebut sebagai perjalanan panjang yang penuh kompromi. Dua individu dengan latar belakang, kebiasaan, bahkan karakter berbeda, disatukan dalam satu rumah tangga dengan tujuan membangun masa depan bersama. Namun, tidak semua pasangan mampu bertahan melewati perbedaan yang ada.
Baru-baru ini, sebuah kasus unik mencuri perhatian publik. Sepasang pengantin baru yang bahkan belum genap setahun menikah, memutuskan untuk mengajukan gugatan cerai. Bukan karena masalah ekonomi, perselingkuhan, atau campur tangan keluarga besar—melainkan karena hewan peliharaan mereka yang tidak akur. Kasus ini bukan hanya mengundang tawa, tapi juga membuka diskusi serius tentang betapa kompleksnya dinamika rumah tangga di era modern.
Artikel ini akan mengulas secara mendalam kasus tersebut: mulai dari kronologi, latar belakang, hingga analisis dari sisi psikologi, hukum, dan sosial. Kita juga akan membahas bagaimana perbedaan dalam mengurus hewan peliharaan bisa berdampak pada rumah tangga, serta refleksi bahwa hal-hal yang tampak sepele bisa jadi batu sandungan besar dalam pernikahan.
Pasangan muda yang identitasnya dirahasiakan demi privasi, menikah sekitar delapan bulan lalu. Sang suami adalah pecinta anjing sejak kecil, sementara sang istri sangat menyayangi kucing. Setelah menikah dan tinggal serumah, keduanya sepakat membawa hewan kesayangan masing-masing: seekor anjing golden retriever berusia tiga tahun dan seekor kucing anggora berusia dua tahun.
Pada awalnya, mereka optimis kedua hewan itu bisa beradaptasi. Banyak referensi daring yang mereka baca menyebutkan bahwa kucing dan anjing bisa hidup berdampingan jika dilatih dengan sabar. Namun kenyataan berkata lain. Kucing sang istri sering ketakutan hingga bersembunyi di atas lemari, sementara anjing sang suami terus-menerus menggonggong setiap kali melihatnya.
Pertengkaran kecil mulai muncul. Sang suami merasa istrinya terlalu memanjakan kucing hingga mengabaikan kebutuhan anjing. Sebaliknya, sang istri merasa suaminya tidak peka dengan ketakutan kucingnya. Situasi semakin rumit ketika kucing beberapa kali buang kotoran di area rumah akibat stres, sementara anjing jadi lebih agresif dari biasanya.
Seiring waktu, konflik soal hewan peliharaan ini melebar ke ranah emosional. Mereka mulai saling menyalahkan, merasa tidak dihargai, hingga akhirnya memutuskan untuk mengajukan cerai.
Fenomena ini sebenarnya bukan hal yang benar-benar mengejutkan. Di banyak negara, terutama di kota-kota besar, hewan peliharaan sering dianggap sebagai bagian dari keluarga, bahkan diposisikan layaknya “anak”.
Psikolog keluarga menyebut kondisi ini sebagai substitute bonding, di mana pasangan, baik karena alasan belum siap memiliki anak atau memang menjadikan hewan sebagai teman hidup, memberikan atensi emosional penuh pada hewan peliharaan.
Namun, ketika dua individu membawa hewan berbeda ke dalam rumah tangga, tanpa kesepakatan cara merawatnya, konflik bisa terjadi. Perbedaan kecil dalam pola asuh—misalnya soal makanan, tempat tidur, atau perhatian—bisa membesar karena masing-masing merasa hewan kesayangannya adalah prioritas.
Menurut ahli psikologi keluarga, ada beberapa alasan mengapa hewan peliharaan bisa menjadi pemicu konflik serius:
Simbol Identitas dan Perasaan
Hewan sering kali menjadi representasi diri seseorang. Ketika pasangan tidak menghargai hewan yang disayangi, pemilik bisa merasa pribadinya juga tidak dihargai.
Kompetisi Perhatian
Dalam rumah tangga baru, pasangan seharusnya saling memberi perhatian penuh. Namun, jika hewan peliharaan menyedot sebagian besar perhatian, pasangan lain bisa merasa diabaikan.
Stres Tambahan
Suara gonggongan, bau kotoran, atau kerusakan furnitur akibat hewan bisa menambah stres dalam rumah tangga, terutama jika salah satu pihak lebih sensitif.
Perbedaan Gaya Hidup
Orang yang terbiasa memelihara anjing biasanya lebih suka aktivitas outdoor, sedangkan pecinta kucing cenderung lebih nyaman dengan suasana indoor. Perbedaan gaya hidup ini bisa menimbulkan gesekan.
Secara hukum di Indonesia, alasan perceraian diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta Kompilasi Hukum Islam (bagi pasangan Muslim). Alasan yang diterima biasanya mencakup:
Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi.
Salah satu pihak meninggalkan pasangannya.
Terjadi kekerasan dalam rumah tangga.
Terjadi perselisihan terus-menerus.
Jika melihat kategori, kasus cerai karena hewan peliharaan memang tidak disebutkan secara spesifik. Namun, jika konflik soal hewan ini menimbulkan perselisihan terus-menerus yang tidak bisa diselesaikan, maka secara hukum gugatan tetap bisa diterima.
Dalam praktik persidangan, hakim biasanya menilai bukan soal “hewan” semata, melainkan apakah pasangan tersebut memang sudah tidak ada kecocokan dan sulit dipertahankan. Dengan kata lain, hewan hanya menjadi pemicu, sementara yang menjadi dasar gugatan tetaplah perselisihan.
Kasus ini mungkin terdengar aneh, tetapi ternyata di luar negeri sudah banyak kejadian serupa.
Amerika Serikat: Ada pasangan yang bercerai karena berebut hak asuh anjing. Sidang bahkan berlangsung lebih lama dibanding kasus perceraian biasa karena keduanya sama-sama ingin memelihara hewan tersebut.
Jepang: Seorang istri menggugat cerai karena suaminya menolak memelihara kucing, padahal kucing itu sudah dianggap seperti anak bagi sang istri.
Inggris: Kasus cerai melonjak pada masa pandemi, salah satunya dipicu oleh masalah hewan peliharaan yang menjadi sumber stres tambahan ketika pasangan harus lebih banyak di rumah.
Artinya, meski terdengar sepele, masalah hewan peliharaan memang bisa memengaruhi kualitas rumah tangga.
Ketika berita ini mencuat, reaksi publik beragam.
Sebagian menertawakan: Banyak yang menganggap aneh, bagaimana mungkin pernikahan yang seharusnya dilandasi cinta bisa runtuh hanya karena kucing dan anjing tidak akur.
Sebagian memahami: Pecinta hewan terutama, bisa memahami betapa dalamnya ikatan emosional dengan peliharaan. Bagi mereka, tidak menghargai hewan sama dengan tidak menghargai diri pemiliknya.
Sebagian mengkritik: Ada juga yang menilai pasangan ini kurang matang. Mereka dianggap belum siap menikah jika hal kecil seperti ini bisa jadi alasan bercerai.
Fenomena ini kemudian menjadi perbincangan hangat di media sosial, memunculkan meme, hingga diskusi panjang di forum pecinta hewan.
Jika ditelusuri, sebenarnya ada beberapa langkah yang bisa dilakukan pasangan ini sebelum mengambil keputusan cerai:
Pelatihan Hewan
Anjing bisa dilatih agar lebih tenang, kucing juga bisa dilatih untuk lebih terbiasa dengan keberadaan anjing. Banyak trainer hewan yang khusus menangani kasus ini.
Zona Aman
Membuat ruang terpisah untuk kucing dan anjing sehingga keduanya punya area nyaman sendiri tanpa harus bertemu terus-menerus.
Konseling Pernikahan
Alih-alih langsung menyerah, pasangan bisa berkonsultasi dengan psikolog untuk menemukan jalan tengah.
Mencari Titik Temu
Misalnya, salah satu hewan sementara dititipkan ke keluarga lain hingga situasi rumah tangga lebih stabil.
Sayangnya, pasangan ini memilih jalan cerai, yang tentu berdampak besar tidak hanya pada hubungan mereka, tapi juga pada kehidupan hewan peliharaan yang akhirnya ikut terdampak.
Kasus ini memberi pelajaran penting. Dalam rumah tangga, masalah tidak selalu datang dari hal besar seperti ekonomi atau perselingkuhan. Kadang justru dari hal kecil yang dianggap remeh.
Hewan peliharaan mungkin hanya “seekor anjing” atau “seekor kucing” bagi orang lain, tapi bagi pemiliknya bisa berarti segalanya. Karena itu, pasangan yang ingin menikah sebaiknya membicarakan hal-hal kecil ini sejak awal:
Apakah akan memelihara hewan bersama?
Bagaimana jika hewan pasangan tidak cocok dengan hewan sendiri?
Siapa yang akan bertanggung jawab terhadap perawatan sehari-hari?
Diskusi ini penting agar tidak menimbulkan konflik di kemudian hari.
Kasus perceraian pasangan pengantin baru gara-gara hewan peliharaan tak akur membuka mata kita bahwa rumah tangga bukan hanya tentang cinta dan janji suci, tapi juga tentang kompromi terhadap hal-hal kecil.
Hewan peliharaan bisa menjadi sumber kebahagiaan, tapi juga bisa jadi pemicu konflik jika tidak dikelola dengan bijak. Bagi sebagian orang, hewan bukan sekadar binatang, melainkan keluarga. Maka, menghargai hewan pasangan sama artinya dengan menghargai pasangan itu sendiri.
Pada akhirnya, perceraian ini menjadi cermin bahwa kesiapan menikah bukan hanya soal finansial dan cinta, tapi juga soal kematangan emosional dalam menghadapi perbedaan.
By : BomBom
akta 1: Lokasi Pabrik Tersembunyi di Tengah Pemukiman Siapa sangka, pabrik gas oplosan yang digerebek…
Pemanggilan Bobby Nasution oleh KPK bersamaan dengan kontroversi razia kendaraan di luar Sumut, memperlihatkan dinamika…
Kecantikan sejati bukan hanya soal makeup, tapi mengekspresikan diri lewat rambut yang tepat. Model Rambut…
1. Pendahuluan Sejak berabad-abad lalu, cengkeh menjadi salah satu rempah yang paling dicari di dunia.…