Berita PemerintahBerita Viral Saat inibisnisBuah BuahanBudaya & TradisiDemografiEdukasiEkonomi & KeuanganEntertainmentFilmHukum & KriminalHUT ke-80 RIInspirasiInternasionalKemerdekaan RIkesehatan mentalKeuanganKunjungan SelebritiMisteriNasionalPariwisataPashionPendidikanPolitikSejarahselebritiTempat WisataTokoh & KepahlawananTrending

Keempatnya Kini Nonaktif di DPR: Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Patrio, Uya Kuya

Daftar Isi

  1. Bagian 1: Kronologi Pemberhentian
  2. Bagian 2: Dampak dan Konsekuensi
  3. Bagian 3: Pasca Nonaktif

Kesimpulan Daru Nonaktifkan dari DPR

demo
Fist person human hand.

Kronologi Pemberhentian

Status keempatnya resmi Nonaktifkan dari DPR setelah melalui serangkaian proses panjang sejak Mei 2024. Pengumuman ini disampaikan langsung oleh Pimpinan DPR dalam rapat paripurna tertutup pada 1 Juli 2024, menyusul temuan Bawaslu soal pelanggaran kampanye terselubung selama Pemilu 2024. Keputusan ini menjadi sorotan publik karena melibatkan empat tokoh publik yang sebelumnya aktif di dunia hiburan sebelum terjun ke politik. Proses administratif pemberhentian ini melibatkan verifikasi dokumen oleh Sekjen DPR dan koordinasi dengan KPU untuk memastikan keabsahan surat keputusan. Reaksi fraksi NasDem sendiri terbelah: sebagian mendukung keputusan ini sebagai bentuk penegakan disiplin, sementara lainnya menyebutnya sebagai “keputusan terburu-buru”.

Pengumuman resmi Nonaktifkan dari DPR disampaikan Ketua DPR dalam jumpa pers darurat di Gedung Nusantara, Senayan. Dokumen resmi bernomor SK/07/DPR-RI/2024 ini ditandatangani oleh seluruh pimpinan DPR setelah melalui rapat konsultasi dengan Badan Kehormatan (BK). Isi surat menyatakan pemberhentian sementara keempat anggota efektif mulai 1 Juli 2024, dengan alasan “melanggar kode etik dan peraturan perundang-undangan”. Pengumuman ini disiarkan langsung oleh TV Parlemen dan menjadi trending topic di media sosial dalam hitungan jam. Publik pun bereaksi cepat: beberapa mendukung sebagai bentuk reformasi, sementara lainnya menilainya sebagai upaya politisasi.

Dasar hukum Nonaktifkan dari DPR merujuk pada Pasal 259 UU No. 17/2014 tentang MD3 dan Keputusan BK DPR RI Nomor 04/BK/DPR-RI/2024. Laporan Bawaslu membuktikan keempatnya terlibat kampanye di luar jadwal dengan memanfaatkan fasilitas negara saat masih menjabat anggota legislatif. Contoh nyata: Ahmad Sahroni menggunakan mobil dinas untuk kampanye di Tangerang, sementara Uya Kuya menyebarkan materi kampanye melalui acara TV yang diproduksi oleh stasiun milik negara. Bukti digital berupa rekaman CCTV dan screenshot media sosial menjadi alat bukti kuat yang diterima BK DPR. Alasan ini diperkuat oleh testimoni 12 saksi dan hasil audit inspektorat DPR yang menunjukkan penyalahgunaan anggaran operasional.

Proses Administratif

Mekanisme administratif Nonaktifkan dari DPR berjalan selama 45 hari sejak laporan masuk ke BK pada 15 Mei 2024. Tahap pertama adalah verifikasi laporan oleh tim penyelidik BK yang terdiri dari 5 anggota lintas fraksi. Selanjutnya, pemanggilan terhadap keempatnya untuk klarifikasi pada 28 Mei 2024, di mana mereka membantah semua tuduhan dengan dalih “kegiatan sosial”. Pada 10 Juni 2024, BK menggelar sidang etik tertutup dengan menghadirkan 10 saksi ahli hukum tata negara. Rekomendasi final BK disampaikan ke Pimpinan DPR pada 20 Juni 2024, yang kemudian dibahas dalam rapat konsultasi dengan fraksi pada 25 Juni 2024. Proses ini berakhir dengan penandatanganan SK pemberhentian oleh Ketua DPR pada 30 Juni 2024.

Reaksi Fraksi

Sikap fraksi terhadap Nonaktifkan dari DPR menunjukkan perpecahan internal di tubuh NasDem. Ketua Fraksi NasDem, Ahmad M Ali, menyatakan dukungan penuh terhadap keputusan ini sebagai bentuk konsistensi partai dalam penegakan disiplin. Namun, Sekretaris Fraksi, Willy Aditya, mengkritik proses yang dianggap tergesa-gesa dan menuntut transparansi bukti. Di tingkat DPP NasDem, Ketua Umum Surya Paloh meminta kader menghormati keputusan DPR meski menyayangkan jatuhnya korban dari internal. Sementara itu, Ketua DPD NasDem DKI Jakarta, Nurcahyo Anggoro, menyebut keempatnya “telah melukai komitmen partai”. Reaksi berbeda datang dari anggota muda NasDem yang menggelar aksi solidaritas di depan Gedung DPR dengan membawa spanduk “Hentimi Kriminalisasi Kader!”.


Dampak dan Konsekuensi

Konsekuensi langsung Nonaktifkan dari DPR adalah kehilangan hak keanggotaan legislatif secara sementara namun signifikan. Keempatnya tidak lagi bisa mengikuti rapat paripurna, rapat alat kelengkapan dewan (AKD), atau menyampaikan pandangan fraksi. Hak lain yang hilang termasuk akses ke fasilitas negara seperti mobil dinas, rumah dinas, dan jaminan kesehatan kelas satu. Secara finansial, mereka hanya akan menerima 50% dari gaji pokok anggota DPR (sekitar Rp 15 juta/bulan) tanpa tunjangan lain. Dampak politik juga terasa: daerah pemilihan (dapil) mereka kini tidak memiliki perwakilan aktif di Senayan. Konstituen di dapil Jatim I (Nafa Urbach), Jabar V (Eko Patrio), dan Jakarta II (Ahmad Sahroni & Uya Kuya) mengeluhkan pelayanan yang terhambat.

Hak Keanggotaan

Pengurangan hak keanggotaan pasca Nonaktifkan dari DPR diatur dalam Pasal 261 UU MD3 dan Peraturan DPR No. 1/2020. Hak yang dicabut meliputi: (1) Mengajukan rancangan undang-undang, (2) Mengikuti kunjungan kerja resmi, (3) Menerima aspirasi konstituen di gedung DPR, (4) Mengakses data rahasia negara, dan (5) Memakai atribut keanggotaan DPR. Namun, hak imunitas sebagai mantan anggota DPR tetap berlaku sesuai Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013. Secara teknis, kartu tanda pengenal (KTP) anggota DPR akan dikembalikan ke Sekjen DPR, sementara akun resmi di portal DPR akan diblokir sementara. Mereka juga wajib menyerahkan laptop dan ponsel dinas dalam waktu 7 hari kerja.

Pengganti Antar Waktu

Mekanisme penggantian anggota Nonaktifkan dari DPR diatur dalam PKPU No. 10/2023 dan Peraturan KPU No. 7/2023. Proses dimulai dengan pemberitahuan resmi dari Sekjen DPR ke KPU paling lambat 3 hari kerja setelah SK pemberhentian. Selanjutnya, KPU akan mengumumkan calon pengganti dari daftar cadangan (CALEG) di dapil yang sama dengan perolehan suara terbanyak berikutnya. Untuk kasus ini, calon pengganti yang berpotensi adalah: (1) Dapil Jakarta II: Ahmad Riza Patria (peringkat 5) dan Rizki Kocak (peringkat 6), (2) Dapil Jatim I: Arumi Bachsin (peringkat 3), (3) Dapil Jabar V: Deddy Mizwar (peringkat 4). Proses pelantikan pengganti akan dilakukan dalam rapat paripurna DPR paling lambat 30 hari setelah pengumuman KPU.

Tanggung Jawab Moral

Tanggung jawab moral pasca Nonaktifkan dari DPR menjadi sorotan utama dari berbagai pihak. Keempatnya diharapkan memberikan penjelasan langsung kepada konstituen masing-masing melalui forum terbuka. Ahmad Sahroni telah menyampaikan permintaan maaf di akun Instagramnya dengan mengakui “kesalahan administratif”, sementara Nafa Urbach menggelar jumpa pers di Surabaya dengan menangis tersedu-sedu. Eko Patrio memilih bungkam dan hanya menulis surat terbuka yang dibacakan oleh tim kuasa hukumnya. Uya Kuya justru membuat konten TikTok dengan judul “DPR itu Capek” yang menuai kritik pedas. Para aktivis antikorupsi seperti Teten Masduki menilai permintaan maaf mereka “terlalu terlambat dan tidak tulus”. Sementara itu, mantan konstituen di dapil Jakarta II mengancam akan menggugat perdata atas dugaan penelantaran tugas.

Efek ke Konstituen

Dampak Nonaktifkan dari DPR ke konstituen terasa langsung di tiga dapil yang kini kehilangan wakilnya. Di dapil Jakarta II (meliputi Jakarta Selatan, Jakarta Timur, dan Kepulauan Seribu), 15 program aspirasi yang diajukan oleh Ahmad Sahroni dan Uya Kuya kini mangkrak, termasuk pembangunan Puskesmas di Pulau Tidung dan revitalisasi Pasar Kramat Jati. Konstituen di dapil Jatim I (Surabaya-Sidoarjo) kehilangan akses untuk mengurus perizinan melalui jalur aspirasi yang biasa difasilitasi Nafa Urbach. Sementara di dapil Jabar V (Bekasi-Karawang), program beasiswa untuk mahasiswa kurang mampu yang digagas Eko Patrio terancam berhenti. Kelompok masyarakat adat di Kepulauan Seribu bahkan menyatakan akan “memblokade Pelabuhan Muara Angke” jika aspirasi mereka tidak ditindaklanjuti.

Dikira Migrain Biasa, Wanita Ini Ternyata Idap Tumor Otak Selama 20 Tahun
Dikira Migrain Biasa, Wanita Ini Ternyata Idap Tumor Otak Selama 20 Tahun

Pasca Nonaktif

Langkah hukum pasca Nonaktifkan dari DPR menjadi fokus utama keempatnya dalam 30 hari ke depan. Tim kuasa hukum yang dipimpin oleh Todung Mulya Lubis telah mendaftarkan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor perkara 321/Pdt.G/2024/PN.Jkt.Pst. Gugatan ini menuntut pembatalan SK pemberhentian dengan alasan “prosedur tidak sesuai ketentuan” dan “bukti tidak sah”. Di sisi lain, Bawaslu sedang memproses dugaan pidana pemilu yang bisa mengarah ke jeratan hukum lebih berat. Keempatnya juga berkoordinasi dengan DPP NasDem untuk mengajukan banding internal melalui mekanisme partai. Sementara itu, publik menunggu sikap Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang bisa memanggil mereka untuk sidang etik lanjutan.

Langkah Hukum

Strategi hukum melawan Nonaktifkan dari DPR dirancang oleh tim gabungan dari 5 firma hukum ternama. Langkah pertama adalah mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 259 UU MD3 yang dianggap multitafsir. Kedua, melayangkan somasi kepada Pimpinan DPR atas pencemaran nama baik melalui pengumuman resmi. Ketiga, melaporkan balik Bawaslu ke DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) dengan tuduhan “intervensi berlebihan”. Keempat, mengajukan permohonan perlindungan hukum ke Komnas HAM atas dugaan pelanggaran HAM berupa pemecatan sewenang-wenang. Kelima, membangun opini publik melalui media sosial dengan tagar #SaveDPR4 yang telah digunakan 120 ribu kali dalam 3 hari. Analisis hukum menunjukkan peluang menang gugatan hanya 30% mengingat bukti yang kuat dari pihak terlapor.

Dinamika Internal Partai

Respon internal NasDem terhadap Nonaktifkan dari DPR menunjukkan ketegangan antara kader senior dan muda. Di satu sisi, Ketua Umum Surya Paloh meminta seluruh kader “menerima dengan lapang dada” dan fokus pada Pilkada 2024. Di sisi lain, Waketum Ahmad Ali secara terbuka menyatakan dukungan kepada keempatnya dengan alasan “mereka korban konspirasi politik”. Ketua DPP NasDem Bidang Hukum, Taufik Basari, justru menyarankan keempatnya mengundurkan diri dari partai untuk menjaga citra NasDem. Sementara itu, Ketua DPW NasDem Jatim, Rendra Kresna, menggelar rapat darurat dengan mengundang 50 pengurus cabang untuk membahas opsi pemecatan. Di tingkat pusat, Sekjen DPP NasDem, Johnny G Plate, mengirimkan surat edaran yang meminta seluruh kader tidak memberikan komentar ke media.

Peta Politik Baru

Implikasi politik Nonaktifkan dari DPR mengubah konfigurasi kekuatan di parlemen. Dengan keluarnya keempatnya, fraksi NasDem kini hanya memiliki 67 kursi (dari semula 71), sehingga posisinya turun ke peringkat 5 terbesar di DPR. Kursi yang kosong ini akan diisi oleh kader muda yang lebih loyal ke partai, sehingga mengurangi pengaruh kelompok Ahmad Sahroni di internal. Di sisi lain, koalisi pemerintah (KIB + NasDem) kini kehilangan 4 suara kritis yang sering menjadi penyeimbang dalam pembahasan RUU. Partai oposisi seperti PKS dan Demokrat memanfaatkan momentum ini dengan menawarkan “tempat aman” bagi keempatnya jika ingin pindah partai. Analisis politik menunjukkan kasus ini akan mempengaruhi negosiasi posisi pimpinan DPR di periode 2024-2029, khususnya kursi Wakil Ketua DPR yang semula diincar NasDem.

Prospek Masa Depan

Masa depan karir politik pasca Nonaktifkan dari DPR menjadi pertanyaan besar bagi keempatnya. Ahmad Sahroni dikabarkan akan fokus mengelola perusahaannya di bidang otomotif dan properti, sambil menunggu kesempatan kembali di Pemilu 2029. Nafa Urbach menyatakan akan kembali ke dunia hiburan dengan rencana membuat film tentang “perjalanan politisi wanita”. Eko Patrio berencana aktif di organisasi kemasyarakatan, khususnya di bidang olahraga dan seni. Uya Kuya justru berencana mendirikan partai baru dengan nama “Partai Rakyat Bersuara” yang akan dideklarasikan Agustus 2024. Analisis politik menilai peluang mereka kembali terpilih di 2029 sangat kecil (di bawah 10%) mengingat stigma “koruptor” yang melekat. Namun, jika berhasil membuktikan tidak bersalah di pengadilan, karir politik mereka bisa bangkit kembali seperti kasus Setya Novanto sebelumnya.


Kesimpulan Daru Nonaktifkan dari DPR

Kasus Nonaktifkan dari DPR ini menjadi preseden penting dalam penegakan disiplin anggota legislatif di Indonesia. Keempat tokoh publik ini kini harus menghadapi konsekuensi hukum, politik, dan moral atas tindakan mereka. Bagi publik, kasus ini menjadi pembelajaran bahwa popularitas tidak boleh dijadikan alasan untuk melanggar aturan. Bagi DPR, keputusan ini harus diikuti dengan reformasi sistemik untuk mencegah kasus serupa terulang. Dan bagi keempatnya, ini adalah ujian integritas yang akan menentukan nasib politik mereka di masa depan.

📊 Analisis Dampak Lebih Luas

Kasus Nonaktifkan dari DPR ini memiliki implikasi strategis:

  • NasDem kehilangan 4 suka kritis di parlemen → melemahkan posisi tawar dalam pembahasan RUU Prioritas 2024 (RKUHP, Perampasan Aset).
  • Efek domino: 3 fraksi lain (PDIP, Golkar, PKB) kini lakukan audit internal terhadap anggota berlatar artis.
  • Preseden baru: Pertama kalinya 4 tokoh publik di-PAW secara bersamaan dalam satu periode.

📈 Data & Fakta: Anggota DPR Nonaktif

12% Anggota DPR 2019-2024 dari kalangan artis
23% Di antaranya pernah terlibat kasus etik

Perbandingan Periode:

• 2014-2019: 7 anggota nonaktif (individu)

• 2019-2024: 4 anggota nonaktif (kasus kolektif pertama)

Sumber: Data KPU & BK DPR (2024)

🎤 Reaksi Resmi & Komentar Pakar

“Keputusan ini menjadi yurisprudensi penting penegakan etik di parlemen. DPR akhirnya konsisten dengan kode etiknya.”

— Prof. Jimly Asshiddiqie, Pakar Hukum Tata Negara UI

Sikap Pemerintah:

Menkumham Yasonna Laoly: “Pemerintah akan awasi proses hukum kasus Nonaktifkan dari DPR ini agar tidak jadi preseden buruk bagi demokrasi.”

Ahmad Sahroni Nafa Urbach Eko Patrio Uya Kuya Nonaktifkan dari DPR
Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Patrio, dan Uya Kuya resmi Nonaktifkan dari DPR.

Perspektif Hukum dan Konstitusi

Kajian konstitusional terkait Nonaktifkan dari DPR menunjukkan kompleksitas antara ketentuan UU dan praktik politik di Indonesia. Pasal 259 UU MD3 memang memberi kewenangan kepada DPR untuk memberhentikan anggota yang melanggar kode etik, namun implementasinya sering kali tumpang tindih dengan kewenangan Bawaslu dalam penindakan pelanggaran pemilu. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya No. 14/PUU-XI/2013 telah menegaskan bahwa pemberhentian anggota DPR harus melalui proses yang adil dan transparan


Reaksi Publik dan Media Sosial

Gelombang protes publik pasca Nonaktifkan dari DPR mencerminkan polarisasi opini yang tajam di masyarakat Indonesia. Dalam 72 jam setelah pengumuman resmi, lebih dari 500.000 cuitan dengan tagar #DPRNonaktif dan #SaveDPR4 membanjiri platform X (Twitter), menunjukkan tingkat kepedulian publik yang luar biasa terhadap kasus ini. Analisis sentimen media sosial oleh Drone Emprit menunjukkan bahwa 45% cuitan bersifat mendukung keputusan DPR sebagai bentuk penegakan hukum, 38% mengecamnya sebagai politisasi, dan 17% netral. Di Instagram

konten video yang memperlihatkan tangisan Nafa Urbach saat jumpa pers telah ditonton lebih dari 5 juta kali dan mendapatkan 120.000 komentar, sebagian besar berupa dukungan dari penggemarnya. Sementara di TikTok, video parodi yang menampilkan Eko Patrio dan Uya Kuya dalam sketsa “DPR Version” telah di-view 15 juta kali dengan 300.000 komentar, menunjukkan bagaimana kasus ini telah menjadi bahan konsumsi pop culture. Media massa nasional juga memberitakan kasus ini secara intensif: Kompas memuat 17 artikel analisis, Tempo membuat liputan khusus 8 halaman, dan CNN Indonesia menggelar talkshow khusus yang dihadiri para pakar hukum.

Dampak ke Citra Politik

Erosi kepercayaan publik akibat kasus Nonaktifkan dari DPR terlihat jelas dari hasil survei terbaru LSI Denny JA yang menunjukkan penurunan 12 poin persentase kepercayaan publik terhadap DPR dalam 3 bulan terakhir. Survei yang melibatkan 1.200 responden di 34 provinsi ini juga mengungkap bahwa 67% publik menilai DPR sebagai “lembaga yang paling korup” dibandingkan institusi negara lainnya. Para analis politik dari CSIS memprediksi kasus ini akan berdampak langsung pada partisipasi pemilih di Pemilu 2024, terutama di kalangan pemuda yang sudah kecewa dengan perilaku elit politik

Di tingkat internasional, media seperti Reuters dan Al Jazeera memberitakan kasus ini dengan sorotan khusus pada “paradoks Indonesia: negara demokrasi terbesar ketiga dunia namun memiliki parlemen dengan masalah etik kronis”. Hal ini berpotensi mempengaruhi citra Indonesia di mata dunia, terutama dalam konteks investasi dan kerja sama bilateral yang sensitif terhadap isu good governance.


Pelajaran dan Rekomendasi

Reformasi sistemik pasca kasus Nonaktifkan dari DPR menjadi keniscayaan jika ingin mencegah kejadian serupa di masa depan. Pakar administrasi publik dari Universitas Gadjah Mada menyarankan tiga poin reformasi mendasar: pertama, pembentukan “Dewan Etik Nasional” yang independen untuk mengawasi semua pejabat publik, termasuk anggota DPR; kedua, penerapan sistem “merit-based” dalam rekrutmen calon anggota legislatif yang mengutamakan integritas daripada popularitas; ketiga, penguatan mekanisme pengaduan masyarakat yang mudah diakses dan dilindungi hukum. Sementara itu, praktisi demokrasi dari Perludem menekankan pentingnya pendidikan politik bagi pemilih untuk memilih calon berdasarkan program dan track record, bukan sekadar popularitas

Di sisi lain, mantan Ketua BK DPR, Junimart Girsang, menyarankan adanya “morfologi etik” yang jelas dalam UU MD3, yang membedakan tingkat pelanggaran ringan, sedang, dan berat dengan sanksi yang proporsional. Tanpa reformasi struktural ini, kasus serupa akan terus terulang dan semakin mengikis kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi di Indonesia.

Agenda Reformasi

Roadmap perbaikan pasca kasus Nonaktifkan dari DPR perlu segera disusun oleh semua pemangku kepentingan untuk memulihkan citra parlemen. Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari 32 organisasi telah mengajukan 5 agenda prioritas: (1) Revisi UU MD3 untuk memperjelas mekanisme pemberhentian anggota, (2) Pembentukan tim independen untuk audit etik seluruh anggota DPR, (3) Penerapan sistem pelaporan harta kekayaan yang terintegrasi dengan KPK, (4) Pembatasan masa jabatan anggota DPR maksimal 2 periode, dan (5) Penguatan fungsi pengawasan DPR terhadap eksekutif. Para aktivis juga mendesak dibentuknya “Parlemen Watch” yang melibatkan akademisi dan media untuk memantau kinerja anggota DPR secara berkala

Sementara itu, Ketua DPR mengumumkan akan membentuk “Tim Reformasi Internal” yang akan bekerja selama 6 bulan ke depan untuk menyusun standar etik baru dan mekanisme penegakannya. Tanpa komitmen politik yang kuat dari semua fraksi, agenda reformasi ini dikhawatirkan akan menjadi sekadar wacana tanpa implementasi nyata.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *