Di sebuah desa kecil yang terletak di tepi hutan lebat, terdapat legenda yang selalu dihindari oleh warga: hutan itu di kenal sebagai Leuweung Sarebu Lelembut, “Hutan Seribu Lembut” — bukan karena keindahan semata, tetapi karena bisikan-bisikan halus, bayang-bayang yang terselip di balik pepohonan, janji-janji yang tertinggal di tanah lembap, dan korban-korban yang tak pernah benar-benar pergi.

Rara, seorang gadis belia yang tinggal bersama kakek dan neneknya, mulai mengalami mimpi-mimpi aneh ketika bulan purnama muncul. Suara-suara memanggil namanya dari dalam hutan, bayangan hitam berkuku panjang yang mengelus rambutnya saat ia tertidur, bisikan “Ibu datang untuk menjemput kamu…” yang membuatnya terbangun dalam dingin di tengah malam. Kisahnya tak pernah di maklumkan oleh orang dewasa: orang tua desa enggan berbicara tentang hutan. Mereka hanya berbisik bahwa “di atas tanah ini manusia bisa jadi budak; tumbal darah, daging dan nyawa sudah selayaknya di berikan untuk Sang Tuan…”

Kakek Rara, Ki Duduy, adalah orang yang pernah menyusuri setiap sudut hutan itu waktu masih muda.

Ia menyimpan gelang kuno — gelang gengge — dan sebuah kucing hitam yang dipercaya sebagai penjaga antara dunia manusia dan dunia yang “tersembunyi”. Rara dan sahabat masa kecilnya, Budi, mendapati gelang itu saat bermain di dekat batas hutan. Tanpa sengaja, mereka membuka kembali pintu yang harusnya terkunci dalam diam zaman: “Gerbang Tumbal”. Sebuah gerbang yang membedakan antara yang hidup dan yang tak pernah kembali.

Ketika Rara menghilang secara misterius suatu malam, desa terpaku dalam ketakutan. Budi, merasa bersalah karena meninggalkan Rara sendirian, bersama kakek Ki Duduy dan kucing hitam berusaha mencari jejaknya. Jejak-jejak itu membawa mereka ke dalam jauh lebih dalam dari yang pernah dijelajahi oleh warga desa ke bagian hutan yang lebih sunyi, di mana pepohonan bahkan enggan bergoyang dihembus angin. Mereka menemukan ritual-ritual kuno, jejak-jejak darah di batang kayu, dan suara-suara tangisan yang tak tampak asalnya.

Hutan “lembut” bukan berarti ramah. Keheningan di dalamnya adalah ancaman.

Budi mendengar bisikan—“Mundur!!… sambil lembut mengajak Rara pulang…”—tapi sosok yang mengucapkannya adalah bayangan tak berwujud, matanya merah menyala, tawa kecilnya menggetarkan. Ketika Budi berusaha melindungi seorang nenek tua, Mak Endah, yang dipercayainya tahu rahasia hutan, Mak Endah malah membalikkan tubuhnya dan memandang Budi dengan tatapan yang mengutuk: “Lepaskan manusia biadab! Lepaskan!”

Sementara itu, Rara berada di suatu tempat yang “di balik” hutan: bukan cuma ruang fisik, tetapi wilayah antara dunia manusia dan makhluk yang menguasai hutan. Ia ditawari permainan tak berujung oleh sosok ibu yang menyeramkan, dikelilingi oleh anak-anak yang tak bisa pulang ke rumah mereka. Waktu dan tempat kehilangan rambu-rambunya. Rara tak lagi yakin apa yang nyata dan apa yang ilusi.

Konflik utama film ini berkisar pada pencarian Rara dan pencarian identitas hutan itu sendiri: mengapa hutan itu menyerap korban? Apa hubungan Ki Duduy dengan gelang dan kucing hitam itu? Apa gerbang tumbal sebenarnya? Dan siapa “Sang Tuan” yang terus menuntut tumbal di tanah ini?

Dalam klimaks film, Budi dan Ki Duduy memasuki bagian terdalam hutan.

Mereka menghadapi makhluk yang tak hanya menakutkan secara fisik, tetapi juga memerangkap rasa bersalah, kenangan, dan harapan. Rara muncul di antara mereka—namun bukan sebagai korban saja, melainkan sebagai kunci. Ia memahami bahwa hutan menyimpan luka lama, tradisi kelam, dan janji-yang-terlupakan. Ia memilih untuk berhadapan bukan dengan kekuatan makhluk, melainkan dengan kesalahan manusia: generasi yang membuka gerbang demi keuntungan sesaat, menurunkan ritual demi ambisi, dan mengabaikan suara alam yang berbisik.

Di akhir film, Rara berdiri di batas hutan, kucing hitam di kaki tangannya, gelang gengge melingkar di pergelangan. Ia menawarkan satu pilihan kepada hutan: tetap dalam diam, atau terbuka untuk pengampunan dan pembaharuan. Suara-suara di hutan mereda, pohon-pohon berhenti bergoyang dengan ketakutan, dan pagi muncul dengan cahaya lembut yang tak pernah desa rasakan sebelumnya.

Desa yang dulu meringkuk dalam bayang-bayang menghela napas lega.

Namun pesan film tetap menggema: hutan bukan sekedar tumbuhan dan tanah ia adalah warisan, amarah, dan tanggung jawab. Bilamana manusia terus mengabaikan bisikan lembut di balik pepohonan, maka “lembut” itu akan berubah menjadi jeritan yang tak tertahankan.

Film ini adalah perpaduan antara horor psikologis, mitologi lokal, dan perjalanan spiritual. Ia mengajak penonton menyelami “lembut” yang tampak aman namun menyimpan ancaman; “hutan seribu” yang penuh rahasia; dan “lemmarbut” yang bukannya nyaman, melainkan perangkap suguhan keindahan dan kegelapan sekaligus. Dengan latar budaya Sunda (atau adaptasi lokal sesuai wilayah produksi), dengan elemen alam dan supranatural yang mengakar, film ini menghadirkan pengalaman yang menghantui — bukan hanya melalui jump-scare, tetapi melalui rasa tak nyaman yang terus tinggal bahkan saat layar telah gelap.

“Leuweung Sarebu Lelembut – Jejak Bayang di Hutan Seribu Lembut”

tidak hanya sebuah kisah tentang hilang-mencari, tetapi tentang pengakuan atas dosa lama, tatapan ke masa lalu yang tertutup, dan keberanian untuk membuka gerbang yang seharusnya terkunci. Ia menantang kita untuk mendengar suara yang tidak pernah kita dengar, untuk melihat bayangan yang selalu kita tolak, dan untuk memahami bahwa hutan—sebagai makhluk hidup kolektif—memiliki ingatan yang panjang dan kesabaran yang tak terbatas.

Update24