Obat batuk serta obat pilek sering dianggap sebagai pengobatan ringan untuk anak-anak yang menunjukkan gejala flu, batuk, demam. Namun dalam beberapa kasus, obat semacam ini telah menjadi penyebab penyakit berat bahkan kematian jika mengandung zat yang beracun atau dicemari zat berbahaya
Beberapa kasus internasional sebelumnya (misalnya Gambia, Uzbekistan) telah melaporkan kematian anak-anak setelah konsumsi obat batuk buatan India, karena tercemar diethylene glycol (DEG) atau ethylene glycol—zat yang digunakan di industri, bukan untuk konsumsi manusia, dan sangat toksik bagi ginjal.
Berikut rangkaian waktu dari kemunculan kasus hingga investigasi dan tindakan yang diambil.
Tanggal | Kejadian |
---|---|
24 Agustus 2025 | Diduga hari pertama kasus yang berkaitan: laporan awal bahwa anak-anak mulai menunjukkan gejala setelah minum obat batuk Coldrif dan Nextro-DS |
2 September 2025 | Laporan pertama kematian anak yang diduga terkait obat batuk: Shivam (4 tahun) meninggal di Parasia, Chhindwara. |
5 September | Anak bernama Vidhi (3 tahun) meninggal. |
7 September | Adnan (5 tahun) meninggal. |
13 September | Usaid (4 tahun) meninggal. |
15 September | Rishika (5 tahun) meninggal. |
16 September | Shreya (2 tahun) meninggal. |
18 September | Hitansha (4 tahun) meninggal. Pada hari itu juga datang informasi dari administrasi Nagpur bahwa beberapa anak mengalami gagal ginjal (“kidney failure”) yang tidak biasa. |
Sekitar waktu itu | Anak lain, Vikas (5 tahun) juga meninggal; kematiannya menjadi titik kritis yang mempercepat investigasi karena gejala-gejalanya makin jelas dan dicurigai sebagai efek dari zat toksik. |
Awal Oktober 2025 | Jumlah korban meningkat. Pemerintah negara bagian Madhya Pradesh melaporkan 14 anak meninggal, beberapa lainnya dalam kondisi kritis. |
2 Oktober 2025 | Departemen pengendalian obat (Drugs Control Department) Tamil Nadu melaporkan hasil uji lab bahwa sampel obat batuk Coldrif (batch No. SR-13, produksi Mei 2025, kadaluarsa April 2027) mengandung 48,6% diethylene glycol — angka jauh melebihi batas aman. Laporan lain dari lab di Bhopal juga menemukan kadar ≈ 46,28% DEG. |
Setelahnya | FIR (First Information Report) diajukan terhadap dokter yang meresepkan, produsen obat, dan pihak-pihak terkait. Sresan Pharmaceuticals, perusahaan di Tamil Nadu yang membuat Coldrif, menjadi pusat penyelidikan bersama dengan dokter pediatri, Dr. Praveen Soni, yang merawat di CHC Parasia. |
Awal Oktober | Penarikan (ban) produk Coldrif di negara bagian Madhya Pradesh. Pemerintah juga mengunjungi lokasi (seperti Chhindwara dan Parasia) untuk menemui keluarga korban dan mengumumkan kompensasi. |
Berdasarkan laporan medis dan kesaksian keluarga, berikut pola gejala yang muncul pada anak-anak:
Awalnya gejala ringan: pilek, batuk, demam.
Setelah beberapa hari, muncul muntah, penurunan volume urin (berkurangnya buang air kecil), kadang tidak ada urin sama sekali — indikasi gagal ginjal akut.
Peningkatan kadar kreatinin dan urea dalam darah—baik lewat pemeriksaan laboratorium—menandai bahwa ginjal tidak mampu menyaring bahan racun.
Beberapa anak mendapat dialisis, tapi dalam hampir semua kasus, anonim keparahan ginjal sudah terlalu lanjut sehingga penyelamatan gagal.
Beberapa pasien menunjukkan kerusakan tubular ginjal akut (acute tubular injury) pada biopsi ginjal.
Penyelidikan awal dan analisis laboratorium mengungkap beberapa faktor utama:
Adulterasi / Pencemaran dengan Diethylene Glycol (DEG)
DEG adalah bahan kimia yang digunakan di industri, misalnya sebagai pelarut, anticorrosive, dalam antifreeze. Ia sangat beracun jika tertelan.
Dalam kasus Coldrif di Madhya Pradesh, kandungan DEG yang ditemukan sangat tinggi (≈ 48,6%) yang jauh melampaui batas aman.
Produksi dan Pengawasan yang Lemah
Produsen: Sresan Pharmaceuticals, Tamil Nadu.
Batch yang tercemar dibuat dan diedarkan, didistribusikan ke Chhindwara, Parasia, wilayah lain.
Pengawasan regulasi obat tampaknya terlambat; meskipun ada laporan gejala dan kematian, langkah penarikan dan pengujian tampak lambat dan kurang sistematis.
Resep dan Penggunaan oleh Dokter / Fasilitas Kesehatan
Anak-anak mendapat resep obat dari dokter di pusat kesehatan, seperti Dr. Praveen Soni di Parasia.
Orangtua umumnya mengikuti resep dan menggunakan obat sesuai petunjuk, tanpa menyadari risiko kontaminasi.
Pihak-pihak terkait melakukan sejumlah langkah setelah kasus ini terungkap:
Penyelidikan forensik dan laboratorium
Laporan dari Chennai dan Bhopal mengonfirmasi bahwa sampel Coldrif tercemar dengan DEG.
FIR / tindakan hukum
FIR diajukan terhadap dokter yang meresepkan obat, serta produsen. Dr. Praveen Soni diParasia ditangkap / diskors / ditahan sebagai bagian dari penyelidikan.
Larangan / recall obat
Penarikan produk Coldrif di Madhya Pradesh, dan larangan penjualan di negara bagian tersebut. Beberapa batch obat batuk di Rajasthan juga dibanned setelah kasus serupa muncul di sana.
Kunjungan pejabat & kompensasi
Pemerintah (“Chief Minister”) mengunjungi daerah terdampak (Chhindwara, Parasia) dan mengumumkan kompensasi kepada keluarga korban.
Perubahan kebijakan
Pemerintah pusat dan regulator obat didesak memperkuat pengawasan dan kewaspadaan terhadap obat-obatan anak, khususnya sirup batuk. Ada saran agar obat sirup batuk diberi label peringatan dan mungkin dibatasi penggunaannya pada usia tertentu.
Korban adalah anak-anak usia di bawah lima tahun sebagian besar.
Jumlah kematian: awalnya dilaporkan 11, kemudian menjadi 14 di Madhya Pradesh, dengan korban lain di Rajasthan.
Beberapa anak masih dalam perawatan, dengan kerusakan ginjal yang parah yang mungkin menyebabkan dampak jangka panjang, termasuk kemungkinan gagal ginjal kronik atau komplikasi lainnya.
Trauma sosial & psikologis bagi keluarga korban—kehilangan anak, biaya medis, dan ketidakpercayaan terhadap sistem kesehatan. (Laporan media menyebutkan para orangtua mengungkap pengalaman memilukan mereka terkait mengobati, merawat, dan kemudian kehilangan anak.)
Dari kronologi dan fakta-yang ada, ada beberapa kelemahan sistemik dan faktor pendukung munculnya tragedi ini:
Standar Kualitas Produksi Obat
Tidak dipastikan bahwa semua batch diproduksi dengan standar GMP (Good Manufacturing Practice) relatif tinggi. Adanya kontaminasi DEG menunjukkan penggunaan bahan baku atau proses produksi yang tidak sesuai standar.
Pengendalian mutu internal dan eksternal (independent lab) mungkin tidak rutin atau kurang ketat.
Pengawasan Regulasi
Lembaga pengendalian obat dan regulasi memiliki peran krusial. Keterlambatan dalam mendeteksi masalah ketika gejala mulai muncul.
Penegakan hukum dan inspeksi rutin terhadap produsen dan batch obat sangat penting, tetapi tampaknya belum optimal.
Kemampuan Respons Dini & Penelitian
Gejala awal seringkali dianggap sebagai penyakit biasa (pilek, demam, batuk biasa) sehingga diagnosis toksisitas terlambat.
Autopsi / biopsi, pemeriksaan ginjal, laboratorium toksikologi perlu dilakukan secepat mungkin; dalam kasus ini, biopsi ginjal untuk beberapa korban akhirnya dilakukan, tapi hanya setelah beberapa kematian terjadi.
Konsultasi dan pelaporan dari daerah terpencil ke daerah pusat atau laboratorium rujukan mungkin memiliki hambatan.
Kesadaran Publik & Profesional Kesehatan
Dokter mungkin tidak langsung mencurigai obat batuk sebagai penyebab jika belum ada laporan sebelumnya.
Orang tua dan masyarakat biasanya mempercayai bahwa obat perdagangan resmi aman; kontaminasi semacam ini membangun krisis kepercayaan.
Terkadang dokter bisa disalahkan secara publik, sementara ada kecenderungan bahwa sistem regulasi yang lebih besar juga harus bertanggung jawab. Sebagai contoh, IMA (Indian Medical Association) menyebut bahwa kesalahan bukan semata dokter, melainkan kegagalan regulasi
Gambia (2022-2023): Laporan WHO menyebutkan bahwa empat sirup batuk buatan India mengandung DEG atau ethylene glycol yang tinggi, terkait puluhan kematian anak.
Uzbekistan: Dok-1 Max, obat batuk produksi Marion Biotech (India) juga dituding menyebabkan kematian 18 anak, setelah mengandung ethylene glycol atau DEG.
Ini menunjukkan bahwa kasus di Madhya Pradesh bukanlah yang pertama, melainkan bagian dari pola global /asiatis di mana obat-obatan anak yang diproduksi di India terlibat dalam beberapa kasus kontaminasi obat.
Walaupun bukti laboratorium dan laporan klinis menunjukkan hubungan kuat antara konsumsi sirup batuk yang tercemar dan kematian/gagal ginjal, ada beberapa tantangan:
Keterlambatan tindakan: Banyak kematian sudah terjadi sebelum penarikan produk atau peringatan resmi.Kurangnya autopsi / biopsi di beberapa kasus karena tidak mendapatkan persetujuan orang tua, atau prosedur administratif yang memakan waktu.
Potensi faktor lain: Dehidrasi, infeksi, kondisi medis sebelumnya, variasi dosis obat, dan faktor lingkungan juga harus diperiksa sebagai kemungkinan kontributor. Namun, temuan laboratorium tentang DEG yang tinggi membuat kontaminasi menjadi penyebab utama
Organisasi medis seperti IMA menyatakan bahwa dokter tidak sepenuhnya harus dimintai pertanggungjawaban; mereka menekankan bahwa kegagalan regulasi dan pengendalian mutu obat sering menjadi akar masalah.
Publik menuntut transparansi, pertanggungjawaban bagi produsen, pihak pengawas obat, dan pejabat pemerintahan yang terkait.
Media dan pengamat menyoroti bahwa meskipun sudah ada kasus internasional dan peringatan WHO, sistem pengawasan domestik belum melakukan perbaikan memadai sebelumnya.
Berikut adalah beberapa pelajaran dan rekomendasi agar tragedi semacam ini tidak terulang:
Perketat regulasi dan pengawasan produksi obat
Pastikan semua bahan baku (termasuk pelarut, gula, cairan pengencer) untuk obat-sirup batuk adalah bahan farmasi (pharmaceutical grade), bukan bahan industri.
Lakukan audit rutin atas produsen, baik lokal maupun pemasok bahan baku.
Pengujian batch sampel (batch testing) secara independen
Setiap batch obat sirup batuk untuk anak-anak sebaiknya diuji toksikologinya sebelum diedarkan, terutama jika dijual di fasilitas pemerintah atau komunitas terpencil.
Pelaporan kasus dengan cepat
Dokter atau fasilitas kesehatan harus melaporkan segera ke otoritas bila terdapat pola kemunculan gejala serupa (penurunan urin, kerusakan ginjal) setelah penggunaan obat sirup.
Penyelidikan epidemiologi segera dilakukan agar pola bisa diketahui dan langkah pencegahan dapat diambil.
Pendidikan dan Informasi ke Publik serta Tenaga Kesehatan
Masyarakat harus diberi informasi bahwa obat batuk bukan selalu aman tanpa risiko, khususnya untuk anak kecil.
Tenaga kesehatan harus dilatih untuk mengenali gejala-gejala dini keracunan obat.
Tindakan hukum dan pertanggungjawaban
Produsen yang lalai harus menghadapi sanksi, termasuk denda, penarikan izin produksi, dan jika perlu tindakan pidana.
Pengawasan pemerintah harus transparan, dan ada audit eksternal terhadap regulator obat.
Pengelolaan krisis dan kompensasi
Pemerintah harus menyediakan dukungan medis bagi korban yang masih hidup, termasuk pemantauan jangka panjang.
Kompensasi yang adil kepada keluarga korban serta transparansi dalam prosesnya.
Tragedi di Madhya Pradesh dan Rajasthan ini bukan hanya sebuah insiden tunggal, tetapi merupakan contoh kegagalan sistemik dalam produksi obat, regulasi, dan perlindungan anak-anak dari obat yang seharusnya dapat dipercaya. Meskipun obat batuk tampak sederhana dan routine, efeknya bisa fatal bila ada kontaminasi bahan berbahaya seperti diethylene glycol.
Ada bukti cukup kuat bahwa kematian-anak ini disebabkan oleh konsumsi obat sirup tercemar (Coldrif dan Nextro-DS) yang mengandung DEG dalam kadar sangat tinggi. Kejadian ini menuntut perbaikan kebijakan, pengawasan, transparansi, dan sistem pertanggungjawaban agar tidak ada lagi korban di masa depan.
By : BomBom
Tentu, ini adalah draf artikel lengkap sepanjang 1000 kata dengan judul "Kupas Tuntas: Manfaat Ajaib…
potensi hujan di wilayah Jabodetabek pekan ini. Simak daftar daerah yang perlu waspada dan langkah…
Penelitian Austria ungkap hubungan antara selera kopi hitam pahit dengan kepribadian psikopat.
Pelajari cara berkebun untuk pemula! Tips praktis memilih tanaman, lokasi, media tanam, dan perawatan agar…