Fakta Mengejutkan dan Mengerikan di Balik Pemindahan Ammar Zoni ke Nusakambangan
Kasus penahanan aktor kelahiran 8 Juni 1993, Ammar Zoni, terus menarik perhatian publik. Banyak pihak mempertanyakan prosedur dan perlakuan terhadapnya setelah kabar bahwa sang aktor dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) kelas tinggi di Nusakambangan tersebar. Di antara mereka yang angkat suara adalah Deddy Corbuzier, seorang figur publik yang dikenal vokal dalam menyampaikan pendapat.
Dalam sebuah video yang diunggah di media sosial, Deddy mengungkap kekagetannya terhadap prosedur pemindahan tersebut — terutama fakta bahwa mata Ammar zoni ditutup, serta penggunaan borgol pada tangan dan kaki. Menurutnya, prosedur semacam itu menimbulkan banyak pertanyaan—mengapa pengarahan yang tampak ekstrem itu harus dilakukan terhadap seorang narapidana, apalagi jika belum juga ada putusan tetap?
Artikel ini akan mengulas peristiwa seputar pemindahan Ammar Zoni ke Nusakambangan, respons publik dan tokoh, serta mengangkat sejumlah pertanyaan mendalam terkait mekanisme penahanan, hak asasi manusia, dan persepsi publik terhadap penegakan hukum di Indonesia.
(Paragraf tambahan agar konteks lebih lengkap)
Beberapa waktu lalu, Ammar Zoni terseret dalam kasus hukum yang cukup serius, yakni dugaan pelanggaran narkotik. Kasus ini langsung membuat nama sang aktor ramai dibicarakan, baik di media massa maupun jagat maya.
Pihak kepolisian dan kejaksaan menyatakan bahwa berdasarkan hasil penyidikan, Ammar zoni memenuhi syarat sebagai narapidana dengan “risiko tinggi”, yang menjadi salah satu dasar pemindahan ke Lapas Nusakambangan — dikenal sebagai lembaga pemasyarakatan dengan tingkat keamanan dan pengawasan super maksimum.
Menurut sejumlah sumber, pemindahan sekelompok tahanan berisiko tinggi ke Nusakambangan memang diatur dalam regulasi tertentu sebagai bagian dari penegakan keamanan di lingkungan penjara.
Namun demikian, fakta bahwa pemindahan ini disertai dengan prosedur yang ekstrem — seperti penutupan mata dengan kain atau penutup lain — memicu keheranan banyak pihak, terutama ketika belum ada keputusan hukum inkracht (berkekuatan hukum tetap).
Sebelum balik menyoroti kasus Ammar Zoni, kita perlu memahami gaya dan rekam jejak Deddy Corbuzier — sebagai pembawa acara, selebritas, dan suara publik yang sering menyampaikan pendapat keras dalam berbagai isu sosial dan politik.
Deddy dikenal tidak segan menyentil figur publik atau kebijakan pemerintah apabila dianggap menyimpang.
Dalam beberapa kesempatan sebelumnya, ia juga menyampaikan kritik pedas terhadap fenomena sosial, bisnis artis, dan pertanggungjawaban figur publik terhadap tindakan mereka.
Dalam video yang kini menjadi viral di media sosial, ia menyebut bahwa dulu pernah membahas kasus Ammar Zoni dan menyebut, “Gue bilang ini orang goblok banget.” Pernyataan itu kemudian ia ungkapkan kembali dalam konteks empati sekaligus kritik terhadap perlakuan pihak berwenang dalam memindahkan tahanan.
Dengan gaya bicara langsung dan tajam, Deddy memaksa publik untuk mempertanyakan: sejauh mana prosedur keamanan harus dijalankan? Apakah ada hak-hak dasar yang justru direnggut di balik protokol keamanan?
Dalam video komentar Deddy yang viral, sejumlah hal ia soroti dengan nada heran:
“Matanya pun ditutup. Gua masih nggak ngerti kenapa matanya ditutup.”
“Ini orang diangkut, matanya ditutup, diborgol, kakinya juga diborgol, dipindahin ke penjara super maksimum.”
Beberapa pertanyaan mendasar muncul dari kritik tersebut:
Apa dasar hukum penutupan mata saat pemindahan tahanan?
Beberapa protokol keamanan memang mengizinkan pembatasan pandangan (blindfolding) untuk mencegah tahanan melihat rute pemindahan atau fasilitas tertentu. Namun, penggunaan cara ini harus proporsional, tidak berlebihan, dan diatur jelas dalam regulasi lembaga pemasyarakatan dan peraturan terkait.
Apakah penggunaan borgol ekstra — tangan dan kaki — sudah sesuai prosedur?
Borgol tangan sering dipakai dalam pemindahan tahanan untuk mencegah perlawanan atau pelarian. Tapi borgol kaki dalam situasi seperti ini — apalagi ditambah penutupan mata — bisa dianggap sebagai berlebihan jika tidak disertai bukti kuat bahwa individu tersebut sangat berbahaya atau memiliki niat melarikan diri.
Apakah tindakan ini melanggar hak-hak asasi manusia?
Hak asasi manusia memberikan narapidana hak atas perlakuan yang manusiawi, tidak disiksa, dan tidak diperlakukan secara sewenang-wenang. Bila penutupan mata atau penggunaan borgol dilakukan secara tidak proporsional atau tanpa kebutuhan keamanan yang jelas, bisa dianggap sebagai tindakan yang melanggar martabat individu.
Apakah tindakan ini adil jika belum ada putusan hukum tetap?
Jika Ammar Zoni belum memiliki putusan inkracht, maka masih sebagai tahanan. Dalam masa itu, perlakuannya tetap harus mengedepankan asas praduga tak bersalah dan syarat keadilan dalam perlakuan tahanan.
Deddy menyatakan bahwa ia perlu “ngobrol dengan orang yang memang paham betul dunia narkotika” agar bisa memahami logika prosedural di balik tindakan semacam ini. (Paragraf transisi)
Untuk menilai kelayakan prosedur yang dilakukan, kita perlu menengok regulasi dan praktik pemindahan tahanan di sistem pemasyarakatan Indonesia:
Peraturan Pemasyarakatan (misalnya Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri Hukum dan HAM) biasanya mengatur tentang hak dan kewajiban narapidana dan tahanan, serta tata cara pemindahan.
Pemindahan tahanan terutama dari satu lapas ke lapas lain, apalagi ke lapas dengan tingkat keamanan lebih tinggi, memang diperbolehkan apabila tahanan tersebut dianggap berisiko tinggi — misalnya dicurigai akan melakukan gangguan keamanan, pelarian, atau mempunyai jaringan luar yang kuat.
Dalam praktik internasional dan beberapa negara lain, penggunaan penutup mata (blindfold), borgol tangan maupun kaki, dan protokol pengamanan lain bisa dijadikan bagian dari mekanisme keamanan tinggi. Tapi aturan itu umumnya diterapkan secara proporsional, dengan menjamin bahwa perlakuan tidak berlebihan dan tidak menjatuhkan harkat manusia.
Selain itu, seringkali ada pengaturan bahwa saat pemindahan, tahanan dibatasi hak berinteraksi langsung dengan petugas atau lingkungan luar agar tidak terjadi penyalahgunaan.
Namun, publik sering meragukan implementasi aturan tersebut — karena adanya dugaan penyalahgunaan wewenang, tindakan intimidatif, dan kurangnya transparansi.
Dalam konteks Ammar Zoni, meskipun pihak aparat menyebut bahwa Ammar zoni memenuhi kategori “risiko tinggi”, publik dan figur seperti Deddy mempertanyakan: apakah klasifikasi itu sudah tepat? Apakah setiap tindakan pembatasan seperti penutupan mata dibenarkan secara hukum dan etika?
Kasus ini memicu gelombang reaksi di masyarakat:
Media dan warganet
Banyak media memberitakan detail pemindahan — termasuk kondisi Ammar zoni diborgol tangan dan kaki serta matanya ditutup — dengan judul-judul provokatif.
Warganet dan netizen Indonesia, khususnya para penggemar selebritas, ramai mengomentari: ada yang mendukung tindakan tegas aparat, sementara yang lain menyerukan agar hak-hak tahanan tetap dijunjung.
Tokoh masyarakat dan advokat HAM
Sejumlah aktivis hak asasi manusia menyuarakan kekhawatiran bahwa tindakan ekstrem seperti penutupan mata dan borgol kaki bisa diartikan sebagai perlakuan keliru terhadap tahanan.
Beberapa tokoh meminta klarifikasi dari pihak berwenang—mengapa harus tindakan berlebihan ini dilakukan, dan apakah ada mekanisme oversight (pengawasan) agar tidak terjadi penyalahgunaan.
Masyarakat selebritas dan industri hiburan
Karena Ammar Zoni adalah publik figur, kasusnya disorot dengan intens oleh media hiburan. Banyak artis rekanan, manajer, atau pihak keluarga yang juga menyampaikan reaksi—ada yang prihatin, ada yang memilih diam sambil mempercayakan proses hukum.
Beberapa pihak menilai, perlakuan ekstrem ini bisa menjadi preseden buruk jika tidak dijelaskan secara terbuka.
Reaksi Deddy Corbuzier sendiri adalah salah satu yang paling tajam dan langsung — dengan bahasa keras, tapi memancing diskusi publik.
Dalam menilai prosedur yang dianggap kontroversial ini, penting menjaga keseimbangan antara fakta hukum dan opini publik. Berikut beberapa catatan penting:
Tidak semua tindakan ekstrem berarti pelanggaran hukum, terutama jika didasari kebutuhan keamanan tinggi dan diatur dalam regulasi internal. Tetapi penggunaan tindakan semacam itu harus transparan dan akuntabel.
Pihak kepolisian, kejaksaan, dan Kementerian Hukum dan HAM perlu memberikan penjelasan publik — misalnya alasan klasifikasi “risiko tinggi”, dasar penggunaan penutup mata, dan mekanisme pengamanan pendukung — agar publik tidak hanya menduga-duga.
Perlakuan terhadap tahanan selebritas membuka tantangan tersendiri: aspek publikasi, persepsi massa, dan tekanan opini bisa memperberat beban institusi penegak hukum dan lembaga pemasyarakatan.
Hak asasi manusia harus tetap dijaga bahkan amid kebijakan ketat: tahanan tetap manusia, dan perlakuan apa pun harus mempertimbangkan martabat mereka.
Dalam merespons kritik Deddy, institusi penegak hukum punya kesempatan untuk menunjukkan bahwa tindakan mereka bukan semata intimidasi, tapi bagian dari mekanisme keamanan — namun butuh bukti dan transparansi yang kuat.
Deddy menyebut bahwa ia ingin berbicara dengan “orang yang paham betul seluk beluk dunia narkotika.” Ungkapan ini memiliki makna strategis:
Ia ingin mendalami logika atau standar operasional prosedur dari para ahli—mengapa tahanan narkotika dikategorikan sedemikian rupa, dan prosedur keamanan apa yang lazim dilakukan dalam pemindahan narapidana narkotika tingkat tinggi.
Dengan pemahaman itu, kritiknya tidak sekadar emosi publik, tapi bisa dibangun atas dasar argumen profesional: prosedur mana yang benar-benar dibutuhkan, dan mana yang hanya menimbulkan kesan diperlakukan ekstrem.
Obrolan semacam itu juga membuka ruang dialog—apakah lembaga pemasyarakatan dan penegak hukum mau menjelaskan mekanisme mereka ke publik, agar tidak terjadi persepsi sewenang-wenang.
Jika diskusi publik semacam itu terjadi, maka transparansi dan edukasi kepada masyarakat akan meningkat—kita bisa menghindari miskonsepsi bahwa setiap tindakan aparat dalam kasus narkotika selalu “keras dan otoriter.”
Kasus Ammar Zoni — atau kasus-kasus sejenis di mana figur publik terlibat narkotika — menjadi ujian kritis bagi sistem hukum Indonesia:
Kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum bisa tergerus jika tindakan ekstrem dianggap tidak manusiawi atau tidak adil.
Standar kesetaraan di mata hukum diuji: apakah selebritas atau orang biasa akan diperlakukan sama dalam mekanisme pemindahan tahanan?
Akuntabilitas lembaga penegak hukum harus diperkuat: tidak cukup hanya berkata “sesuai prosedur”, tapi ditunjukkan bukti dan logika.
Perlindungan hak asasi manusia tidak boleh diabaikan dalam rangka “ketegasan” penegakan hukum — keadilan harus tetap dijaga, termasuk bagi terdakwa atau tahanan.
Publik, media, dan tokoh-tokoh seperti Deddy Corbuzier memiliki peran dalam mengawal agar tindakan penegak hukum tidak melampaui batas, serta agar proses hukumnya transparan dan bertanggung jawab.
Prosedur pemindahan Ammar Zoni ke Nusakambangan — dengan mata ditutup, borgol tangan dan kaki — memicu pertanyaan mendalam dan wajar dari publik. Kritikan Deddy Corbuzier bukan sekadar respons emosional, tapi sebuah panggilan agar lembaga hukum menjelaskan detail langkah-langkah pengamanan secara transparan dan manusiawi.
Kasus ini setidaknya memberi pelajaran: agar penegakan hukum tidak hanya dibicarakan dari sisi ketegasan semata, melainkan dari sisi integritas, transparansi, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Jika publik terus menuntut klarifikasi dan dialog terbuka, maka aparat penegak hukum punya kesempatan emas untuk memperkuat kepercayaan masyarakat—bukan sebaliknya menjadikannya korban kontroversi.
Pendahuluan Dalam beberapa tahun terakhir, perhatian dunia terhadap komoditas tropis semakin meningkat. Salah satunya adalah…
Tidak semua makanan sehat aman dikonsumsi tanpa batas. Dari alpukat hingga madu, inilah 5 makanan…
Sejak pandemi, banyak orang menjadi lebih memperhatikan faktor kesehatan. Banyak cara agar tetap sehat. Seperti olahraga, mengonsumsi sayuran…
Sayur paret, yang juga dikenal sebagai selada air, adalah sayuran hijau yang tumbuh subur di…
Seorang trader kripto asal Ukraina, Konstantin Galich—dikenal luas dengan nama Kostya Kudo—ditemukan meninggal di dalam…