Di balik tanah yang basah dan berlapis lumut, di lorong-lorong gelap yang tak pernah disentuh matahari, seekor kelabang tua perlahan menggeliat menuju akhir hayatnya. Tubuhnya telah mulai mengeras, kaki-kakinya yang dulu lincah kini gemetar setiap kali ia bergerak. Ia tahu waktunya sudah dekat. Tidak seperti manusia yang bisa mencatat sejarah atau menitipkan wasiat, seekor kelabang hanya bisa menyerahkan hidupnya pada siklus yang sama tua dengan dunia itu sendiri: makan dan dimakan.
Namun, tak ada yang pernah mempersiapkannya untuk kenyataan bahwa pemakan itu bukanlah pemangsa asing, melainkan darah dagingnya sendiri.
Kelabang—atau centipede—sering dipandang sebagai simbol horor dalam dunia manusia. Ia menjijikkan, menggelikan, dan kadang beracun. Tapi seperti makhluk lainnya, ia hidup dalam struktur biologis yang kompleks: bereproduksi, melahirkan, membesarkan. Dalam sistem yang tak memerlukan kasih sayang, namun tetap menanamkan naluri perlindungan pada anak-anaknya. Namun dunia bawah tanah tidak kenal belas kasihan. Di sana, rasa lapar lebih kuat daripada rasa hormat.
Anak-anaknya, kelabang-kelabang muda yang dulu disusui dengan tubuhnya sendiri, mulai menunjukkan gelagat aneh. Mereka tidak lagi menghindar saat sang induk mendekat. Mata mereka—jika bisa disebut demikian—menatap kosong, namun dalam tatapan itu ada dorongan yang tak bisa ditekan: lapar.
Dan lapar adalah hukum alam yang paling purba.
Sang kelabang tua tak bisa bicara, tentu saja. Tapi kalau bisa, ia mungkin bertanya: “Apakah ini takdirku? Menjadi makanan bagi darah dagingku sendiri?” Dalam dunia serangga, terutama invertebrata, kanibalisme bukanlah anomali. Ia adalah strategi bertahan hidup. Namun bagi kita, manusia, fenomena ini seperti tragedi Yunani yang getir: sang pencipta dimakan oleh ciptaannya sendiri.
Apa yang diwariskan oleh induk kelabang selain tubuhnya? Ia tidak memiliki harta, tidak punya nama, bahkan tidak memiliki nisan. Satu-satunya yang bisa ia tinggalkan adalah dagingnya, protein yang ia kumpulkan seumur hidupnya—untuk memberi makan generasi berikutnya.
Dan di sanalah ironi terbesar terjadi. Warisan bukan lagi sesuatu yang dikenang, tapi dikunyah. Dicerna. Dilupakan.
Dalam kerangka moral manusia, tindakan memakan orang tua sendiri tentu merupakan puncak kebiadaban. Tapi moral bukan milik semua makhluk. Moral adalah konstruksi sosial, sedangkan hukum alam jauh lebih sederhana: bertahan atau punah. Dalam dunia kelabang, tak ada yang adil atau kejam. Hanya ada kebutuhan.
Namun, jika kita menafsirkan ini sebagai metafora, apakah kita berbeda? Bukankah generasi muda kerap “memakan” generasi tua? Bukan secara harfiah, tapi dalam bentuk pengabaian, penggantian, bahkan pengkhianatan. Orang tua membangun rumah, sistem, dan peradaban—lalu anak-anak mereka merobohkannya demi “perubahan”.
Apakah itu juga semacam kanibalisme? Apakah kita juga kelabang-kelabang muda yang akhirnya akan memakan yang mendahului kita?
Kematian sang kelabang tua bukan akhir cerita, justru permulaan dari siklus baru. Anak-anaknya yang kini kenyang, akan tumbuh menjadi dewasa. Mereka akan bertarung, berkembang biak, dan akhirnya menghadapi hari di mana mereka juga menjadi mangsa. Mungkin bukan oleh anaknya sendiri, tapi oleh sesuatu yang lain. Cacing tanah. Semut. Waktu.
Lingkaran ini berjalan tanpa gangguan. Tanpa upacara pemakaman. Tanpa air mata.
Dan anehnya, justru karena itulah, ada kesan keabadian dalam proses ini. Tidak ada kenangan, tapi ada kesinambungan. Tidak ada cinta, tapi ada keberlangsungan. Sebuah keseimbangan tanpa emosi, tapi penuh makna.
Kisah kelabang yang dimakan anaknya sendiri bukan hanya kisah horor biologis. Ia adalah cermin gelap tempat kita bisa melihat sisi paling primitif dari keberadaan kita sendiri. Dalam bentuk paling brutal, ia mengingatkan kita bahwa setiap generasi lahir di atas tubuh generasi sebelumnya. Baik secara literal maupun simbolik.
Orang tua bekerja keras, mengorbankan hidup mereka, memberikan semuanya untuk anak-anaknya—dan terkadang, mereka hanya mendapat balasan berupa kesepian, pengabaian, atau bahkan disingkirkan.
Tapi apakah itu salah anak-anak? Ataukah itu bagian dari siklus yang tak bisa dihentikan? Dalam ekonomi, dalam budaya, dalam politik—setiap yang lama akan digantikan oleh yang baru, dan yang baru akan bertumbuh di atas puing-puing yang ditinggalkan pendahulunya.
Persis seperti kelabang muda yang tumbuh besar setelah memakan induknya.
Tidak ada pelajaran moral dari kematian seekor kelabang. Ia tidak dimakamkan. Tidak dikenang. Tapi ia menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar: keberlangsungan spesies.
Sang induk mungkin tak tahu ia sedang mewariskan hidupnya dalam bentuk paling literal. Ia tidak tahu bahwa dagingnya akan menjadi batu loncatan bagi kehidupan anak-anaknya. Tapi mungkin, kalau ia bisa memilih, ia akan tetap menyerah pada proses itu. Karena di dunia yang tidak memiliki kasih sayang, mungkin penyerahan diri adalah bentuk cinta yang paling tinggi.
Kematian kelabang oleh anaknya sendiri adalah puisi sunyi yang ditulis oleh alam. Tanpa tinta. Tanpa kata. Tapi penuh makna. Sebuah kisah tentang pengorbanan yang tidak pernah dianggap pengorbanan, tentang cinta yang tak pernah disebut cinta, dan tentang warisan yang tidak diwariskan, melainkan dikonsumsi.
Dalam lorong-lorong tanah gelap itu, kelabang tua telah tiada. Tubuhnya telah menjadi bagian dari anak-anaknya. Dan mereka akan meneruskan hidup, membawa sedikit dari dirinya dalam setiap langkah kecil mereka.
Bukan dalam ingatan.
Tapi dalam daging.
Kolagen atau protein struktural adalah protein utama dalam tubuh manusia yang berfungsi sebagai perekat alami…
Pendahuluan Fenomena perjudian online (judol) kian marak di berbagai wilayah Indonesia, termasuk Jakarta Barat (Jakbar).…
"Negara ASEAN tidak hanya kaya budaya dan sejarah, tetapi juga menghadirkan fenomena menarik seperti pertumbuhan…
“Duduk seharian bukan alasan untuk pasif. Dengan gerakan kecil, tubuh tetap bugar dan pikiran segar…