Di sebuah kampung kecil yang tenang, tersembunyi di balik aroma harum bunga wangi yang mengalir lembut tiap sore, hidup seorang perempuan muda bernama Sari. Ia kembali ke kampung halamannya setelah bertahun-tahun meniti hidup di kota besar, meninggalkan segala keramaian dan kegaduhan untuk mencari kedamaian dan akar kehidupannya. Namun, keindahan tempat itu ternyata menyimpan rahasia yang kelam — sebuah aroma wangi yang memikat dan sebuah darah (getih) yang mengalir tanpa suara membisikkan kisah lama yang belum usai.

Sari tiba pada musim bunga melati bermekaran.

Udara penuh dengan keharuman yang menenangkan, dan seluruh kampung seperti terhanyut dalam keindahan sederhana. Ia tinggal di rumah warisan ibunya: rumah kayu tua berdinding hijau pudar, dengan teras yang menghadap ke kebun penuh bunga dan pepohonan rindang.

Di sana, Sari berniat memulai hidup baru: membuka warung kecil menjual teh dan kue, menikmati masa tenang, serta menjalin kembali hubungan dengan kawan lamanya, Dani — sahabat masa kecilnya yang kini menjadi pemuda yang gurun harapan.

Namun, kehadiran Sari tak hanya di sambut dengan tangan terbuka. Di balik senyum penduduk kampung dan aroma wangi yang memabukkan, ada bisikan di malam hari. Seorang pendeta tua — Pak Wahyu — sering muncul di dekat pohon melati terbesar di kebun, membawa lampu minyak dan murmur mantra perlahan. Lalu anak-anak di kampung mulai mengeluh mimpi buruk: mereka mencium harum bunga melati lalu melihat tetesan merah di kelopak bunga itu. Ibu-ibu ramai berbicara di pasar: “Bunga itu sudah bercerita malam tadi… dia menangis dengan darah,” bisik mereka.

Sari, yang awalnya menganggap semua itu hanyalah khayalan dan mitos kampung,

mulai merasakan keanehan sendiri. Suatu malam, di warung kecilnya yang mulai buka malam-malam untuk keperluan pengepul bunga, ia mencium aroma melati yang jauh lebih pekat dari biasanya. Aroma yang seharusnya menenangkan — kini membuat bulu kuduk berdiri. Ia melihat bayangan seseorang berdiri jauh di kebun, mengenakan kemeja putih yang ternoda merah. Ketika ia mendekat, bayangan itu menghilang dalam kegelapan. Dan bunga melati di batang pohon itu — ada tetesan darah merah segar di salah satu daun.

Rasa takut dan penasaran mendorong Sari untuk menggali asal-usul aroma wangi dan darah yang berkelindan di kampungnya. Ia bertemu dengan Dani, yang kini menjadi fotografer amatir dan tertarik pada fenomena paranormal. Dani menunjukkan foto-foto lama: satu gambar hitam-putih yang menampilkan wanita bertudung putih memegang bunga melati, dengan tatapan samar menyeramkan. Di bagian bawah gambar, tertulis tanggal — tiga puluh tahun lalu. Wanita itu adalah almarhumah kakak Sari, Lina, yang tewas secara misterius di malam melati bermekaran. Ketiadaannya tidak pernah terungkap; tubuhnya tidak ditemukan, hanya jejak darah yang ditemukan di kebun melati itu.

Dengan fakta itu,

Sari menyadari bahwa aroma melati — “wangi” — dan darah — “getih” — menjadi simbol luka lama yang belum disembuhkan di kampungnya dan dalam keluarganya sendiri. Ia mulai menelusuri jejak Lina, bertanya pada penduduk lama, mencatat bisikan di pasar malam, dan membuka buku catatan tua ibunya. Ia tahu: suatu kekuatan tak terlihat membungkus kampung. Sebuah janji yang dibuat tiga puluh tahun lalu harus ditebus malam ini, ketika malam bunga melati akan mekar penuh— malam yang sama ketika Lina menghilang dulu.

Ketegangan meningkat ketika Sari mendapati bahwa warung kecilnya menjadi titik pusat keanehan: bunga melati yang ia gunakan mulai layu lebih cepat, aroma wangi berubah menjadi pekat dan menusuk, dan suara langkah di atas kayu rumahnya di malam hari tak bisa ia abaikan. Dani pun menemukan bahwa kampung ini dulunya memiliki ritual lama: saat musim melati mekar sepenuhnya, penduduk akan mengadakan pesta malam dengan obor, menaruh sesajen bunga dan darah ayam di bawah pohon melati besar sebagai pengikat doa agar panen dan kampung selamat. Ritual itu dihentikan dekade lalu setelah kecelakaan misterius menelan Lina — namun kekuatan yang terbangun dulu terus bergema, menunggu pelaksanaan ulang.

Sari menghadapi dilema:

terus tinggal dan menggali kebenaran yang bisa mengguncang reputasi dan kedamaian kampung — atau pergi dan membiarkan luka itu tetap tersembunyi. Ia memilih tinggal. Malam ritual pun tiba; kehadiran Sari, Dani, pendeta Pak Wahyu, dan beberapa penduduk kampung yang masih setia pada tradisi itu menambah klimaks kisah. Aroma melati melingkupi kebun, lampu obor menari-nari bayang-bayang, dan suara himne lama terdengar lirih. Saat sesajen akan diletakkan, tetesan darah kaki-lima dan tetesan air mata muncul bersamaan — dan sosok Lina, menyerupai bayangan wanita putih dengan bunga melati di tangan, muncul dari pepohonan.

Pertarungan antara masa lalu dan sekarang, antara tradisi dan kebenaran, antara wangi melati dan getih yang menetes, muncul dalam bentuk simbol dan gaib. Sari berhadapan langsung dengan bayangan Lina — bukan untuk membalas dendam, tetapi untuk meminta pengampunan.

Film ini merangkum tema-tema mendalam:

konflik batin antara rasa takut dan keingintahuan menjadi kekuatan utama yang mendorong jalan cerita terus maju. setiap potongan adegan memperlihatkan bagaimana unsur budaya, kepercayaan, dan kutukan diwariskan dari generasi ke generasi , ketegangan mencapai puncaknya ketika rahasia besar di balik nama Getih Wangi terungkap dengan cara yang tak terduga, film ini tidak hanya menawarkan kisah horor, tetapi juga refleksi mendalam tentang dosa masa lalu, warisan keluarga, serta harga yang harus dibayar untuk kebenaran. lalu, Getih Wangi menjadi karya yang menarik karena menggabungkan unsur mistis, psikologis, dan budaya dalam satu narasi yang kuat.

Update24