Isu tentang perselingkuhan selalu menjadi topik hangat dalam dunia psikologi dan biologi manusia. Banyak yang menganggap selingkuh adalah hasil dari pilihan pribadi, godaan, atau kurangnya komitmen. Namun, di sisi lain, penelitian ilmiah mulai menyingkap bahwa perilaku ini mungkin memiliki akar yang lebih dalam, yaitu faktor genetik. Konsep “gen selingkuh” atau gen yang memengaruhi kecenderungan untuk tidak setia kini menjadi pembahasan serius di kalangan ilmuwan, karena ada bukti bahwa perilaku seksual dan romantik manusia bisa dipengaruhi oleh warisan biologis dari orang tua.
Teori tentang gen selingkuh bermula dari penelitian pada hewan, khususnya mamalia seperti tikus padang rumput (prairie voles). Dalam studi terkenal oleh ilmuwan dari Emory University, ditemukan bahwa tikus jantan yang memiliki kadar hormon vasopresin tertentu lebih setia kepada pasangannya, sementara tikus dengan variasi gen tertentu lebih mudah mencari pasangan lain. Gen yang mengontrol reseptor vasopresin (AVPR1A) inilah yang dianggap memengaruhi perilaku kesetiaan.
Penemuan ini kemudian menginspirasi penelitian pada manusia. Beberapa studi menemukan bahwa variasi gen pada reseptor dopamin dan vasopresin juga dapat memengaruhi kecenderungan seseorang untuk mencari sensasi baru, termasuk dalam hubungan romantis. Gen seperti DRD4 dan AVPR1A sering disebut sebagai “gen risiko” yang membuat seseorang lebih mungkin tertarik pada pengalaman baru, adrenalin, dan bahkan hubungan di luar pasangan resmi.
Manusia memiliki kompleksitas emosi yang jauh melampaui hewan, tetapi prinsip dasar biologi tetap berlaku. Hormon dan neurotransmitter seperti dopamin, serotonin, oksitosin, dan vasopresin berperan besar dalam membentuk perilaku cinta dan kesetiaan.
Dopamin memberikan rasa senang dan kepuasan saat seseorang mengalami hal baru. Orang dengan varian gen DRD4-7R, misalnya, diketahui memiliki tingkat pencarian sensasi (sensation seeking) yang tinggi. Mereka cenderung lebih impulsif dan menyukai tantangan, termasuk dalam hubungan asmara.
Oksitosin dikenal sebagai “hormon cinta”, yang memperkuat ikatan antara pasangan. Namun, sensitivitas seseorang terhadap oksitosin juga bisa berbeda karena faktor genetik. Individu dengan reseptor oksitosin yang kurang responsif mungkin lebih sulit merasa terikat emosional.
Vasopresin, terutama pada pria, berperan dalam perilaku protektif dan keterikatan terhadap pasangan. Varian gen tertentu yang memengaruhi vasopresin dapat membuat seseorang kurang merasa puas dalam hubungan jangka panjang, dan berpotensi mencari hubungan lain.
Dari kombinasi berbagai faktor biologis ini, sebagian ilmuwan menyimpulkan bahwa perilaku selingkuh tidak sepenuhnya dipilih, tetapi bisa memiliki dasar biologis yang diwariskan.
Walaupun gen dapat memberikan “kecenderungan”, perilaku nyata tetap sangat dipengaruhi oleh lingkungan, nilai, dan pengalaman hidup. Seseorang mungkin memiliki gen yang membuatnya lebih impulsif, tetapi jika tumbuh dalam lingkungan yang menghargai kesetiaan, disiplin, dan tanggung jawab, maka potensi itu bisa ditekan.
Artinya, gen bukan takdir, melainkan kemungkinan. Misalnya, anak yang memiliki orang tua dengan riwayat perselingkuhan tidak otomatis menjadi tukang selingkuh, tetapi mungkin mewarisi sifat kepribadian tertentu — seperti rasa ingin tahu tinggi, keinginan akan kebebasan, atau kesulitan berkomitmen — yang jika tidak dikendalikan, bisa mengarah ke perilaku serupa.
Selain itu, pengaruh pola asuh dan contoh keluarga sangat besar. Anak yang tumbuh dalam rumah tangga dengan konflik dan ketidaksetiaan bisa belajar bahwa hubungan tidak perlu setia, atau bahwa cinta bisa berganti dengan cepat. Jadi, faktor “keturunan” dalam hal ini tidak hanya biologis, tapi juga psikologis dan sosial.
Meskipun penelitian tentang gen selingkuh menarik perhatian dunia, sebagian ilmuwan memperingatkan agar masyarakat tidak menyalahgunakan konsep ini untuk membenarkan perilaku tidak setia. Sains hanya menunjukkan adanya kecenderungan biologis, bukan pembenaran moral.
Dalam konteks sosial, kesetiaan masih dipandang sebagai nilai luhur. Hubungan yang sehat dibangun atas dasar kepercayaan, komunikasi, dan tanggung jawab emosional. Jadi, meski gen mungkin memberi pengaruh, manusia tetap memiliki kehendak bebas untuk memilih perilakunya.
Selain itu, penelitian genetik tentang perilaku manusia masih dalam tahap awal. Gen bukan satu-satunya faktor — stres, trauma masa lalu, kepuasan hubungan, dan dinamika psikologis jauh lebih berperan dalam memicu perselingkuhan. Dengan demikian, gen hanyalah satu bagian kecil dari teka-teki besar perilaku manusia.
Di era modern ini, konsep gen selingkuh sering menjadi perbincangan dalam konteks hubungan, terapi pasangan, dan bahkan tes DNA. Beberapa layanan genetik komersial mengklaim bisa menganalisis “gen kepribadian” yang terkait dengan dopamin dan oksitosin. Namun, para pakar memperingatkan bahwa tes seperti ini belum cukup akurat untuk menilai kesetiaan seseorang.
Sebaliknya, pengetahuan tentang genetik seharusnya digunakan untuk memahami diri, bukan menghakimi. Misalnya, seseorang yang tahu bahwa dirinya mudah bosan atau pencari sensasi bisa menggunakan kesadaran itu untuk melatih kontrol diri, memperkuat komunikasi dengan pasangan, atau mencari bentuk hubungan yang lebih sehat dan jujur.
Perdebatan mengenai “gen selingkuh” menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang kompleks — campuran antara biologi dan kehendak bebas. Benar bahwa gen dapat memengaruhi dorongan dan preferensi, tetapi keputusan akhir tetap berada di tangan individu.
Kesetiaan bukan hanya hasil dari gen yang “baik”, melainkan hasil dari kesadaran, komitmen, dan nilai moral yang dibangun melalui pengalaman hidup. Dengan memahami faktor biologis di balik perilaku manusia, kita dapat lebih bijak melihat masalah perselingkuhan bukan sekadar sebagai dosa pribadi, tetapi juga sebagai tantangan psikologis dan sosial yang memerlukan pemahaman mendalam.
Pada akhirnya, apakah “gen selingkuh” benar-benar ada atau tidak, yang lebih penting adalah bagaimana seseorang mengelola dorongan dan memilih untuk tetap setia. Sebab, warisan genetik mungkin menurun, tetapi pilihan moral adalah milik setiap individu.
Apple kembali membuat heboh dunia teknologi. Setelah bertahun-tahun menjadi primadona di kalangan pecinta gadget premium,…
Ginjal adalah organ vital yang bekerja tanpa henti untuk menyaring darah, membuang limbah metabolik, menjaga…
Pendahuluan Kopi latte sudah menjadi salah satu minuman favorit banyak orang di seluruh dunia. Rasanya…
Razia pajak kendaraan bermotor di Kota Bandung menjaring 94 pengendara yang belum membayar pajak. Petugas…
Maarten Paes ungkap perasaan campur aduk usai Emil Audero absen, sebut Maarten Paes sebagai sosok…
Negara tidak boleh kalah dari mafia tambang. Setiap kekayaan alam harus kembali ke rakyat.” —…