Belakangan ini, jagat media sosial dihebohkan oleh isu bahwa air minum kemasan merek Aqua ternyata berasal dari sumur bor biasa, bukan dari mata air pegunungan seperti yang selama ini diklaim dalam iklannya. Isu ini mencuat setelah mantan Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi, melakukan inspeksi mendadak ke salah satu pabrik Aqua di Subang, Jawa Barat.
Dalam video kunjungan yang viral di media sosial, Dedi Mulyadi mempertanyakan sumber air yang digunakan oleh pabrik Aqua. Ia menyoroti bahwa sumber air di lokasi tersebut tampak berasal dari hasil pengeboran, bukan mata air alami yang mengalir di permukaan pegunungan.
Hal ini pun memicu reaksi publik yang merasa “terkejut” dan menuding adanya perbedaan antara klaim pemasaran dan praktik di lapangan.
Menanggapi isu ini, PT Tirta Investama (Aqua Danone) memberikan klarifikasi resmi. Mereka menegaskan bahwa air yang digunakan bukan berasal dari “sumur bor biasa”, melainkan dari akuifer dalam, yaitu lapisan air tanah yang berada jauh di bawah permukaan bumi dan terlindungi secara alami oleh lapisan batuan.
Pihak Aqua menyebut bahwa akuifer dalam merupakan bagian dari sistem hidrogeologi pegunungan, sehingga secara ilmiah tetap dapat dikategorikan sebagai air pegunungan. Aqua juga memastikan bahwa seluruh sumber air yang digunakan telah memiliki izin resmi dan diawasi oleh pemerintah daerah serta kementerian terkait.
Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) turut memberikan penjelasan ilmiah. Mereka membenarkan bahwa istilah “sumur bor” tidak selalu berarti air permukaan biasa.
Dalam industri air minum dalam kemasan (AMDK), pengeboran memang dilakukan untuk menjangkau lapisan air tanah tertekan atau akuifer dalam, yang kualitasnya lebih stabil dan terjaga dari pencemaran.
Namun, para peneliti juga mengingatkan pentingnya pengawasan ketat agar pengambilan air tidak melebihi kapasitas alamiah yang dapat digantikan. Jika dilakukan berlebihan, hal ini bisa memicu penurunan muka air tanah, amblesan tanah, atau gangguan ekosistem sekitar.
Dari sisi hukum, setiap perusahaan AMDK wajib memiliki izin pengambilan air tanah dan melaporkan jumlah debit yang diambil setiap tahun. Pemerintah daerah biasanya melakukan evaluasi terhadap izin ini secara berkala untuk memastikan tidak ada dampak lingkungan yang merugikan masyarakat sekitar.
Dalam kasus Aqua, hingga saat ini tidak ditemukan pelanggaran hukum, namun desakan publik untuk transparansi sumber air semakin menguat agar tidak ada kesalahpahaman antara klaim pemasaran dan praktik di lapangan.
Warganet menilai kasus ini menjadi momentum penting untuk menuntut kejujuran label produk dan edukasi publik tentang perbedaan istilah seperti “air tanah”, “mata air”, dan “akuifer dalam”. Banyak yang berharap perusahaan besar seperti Aqua dapat menjelaskan sumber airnya secara lebih terbuka agar konsumen tidak merasa ditipu.
Isu viral ini menunjukkan bahwa pemahaman publik tentang sumber air masih terbatas, sementara bahasa promosi sering kali menimbulkan persepsi berbeda.
Secara ilmiah, air dari akuifer dalam memang dapat dikategorikan sebagai bagian dari sistem mata air pegunungan, asalkan pengambilan dilakukan secara lestari dan sesuai izin pemerintah.
Namun, tuntutan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas kepada masyarakat tetap menjadi hal yang sangat penting bagi semua produsen air minum dalam kemasan di Indonesia.
Jakarta — 26 Oktober 2025 Sebuah video menegangkan memperlihatkan pesawat milik Batik Air jenis Boeing…
Jika kegiatan harian Anda mengharuskan Anda menggunakan gadget atau handphone (HP) selama berjam-jam setiap hari,…
Nama Amanda Manopo dan Kenny Austin kembali menjadi sorotan publik setelah beredarnya kabar tentang momen…
Bisakah kita membayangkan sepak bola tanpa Barcelona? Dari sana banyak muncul talenta-talenta muda berbakat yang…
Beras merah telah lama dikenal sebagai salah satu makanan pokok sehat yang kaya akan nutrisi.…
Pendahuluan Banyak orang pernah mengalami malam di mana mimpi terasa sangat jelas, aneh, atau bahkan…