Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri kembali mengukuhkan peran strategisnya dalam menjaga keamanan nasional dengan menangkap empat terduga teroris dari tiga wilayah berbeda: Bogor, Depok (Jawa Barat), dan Berau (Kalimantan Timur). Operasi yang dilakukan dalam waktu hampir bersamaan ini menandakan bahwa ancaman jaringan terorisme masih mengintai dan terus beregenerasi, meski tekanan aparat keamanan semakin ketat.
Penangkapan ini bukan hanya mencerminkan keseriusan pemerintah dalam menangani radikalisme dan terorisme, tetapi juga menjadi pengingat bahwa ideologi ekstrem masih berpotensi menyusup ke tengah-tengah masyarakat. Artikel ini akan mengupas kronologi penangkapan, jaringan yang diduga terlibat, dan pentingnya kewaspadaan publik terhadap penyebaran paham radikal.
Penangkapan keempat terduga teroris berlangsung secara bertahap dalam rentang waktu akhir Juli hingga awal Agustus 2025. Berdasarkan informasi resmi dari Mabes Polri, penangkapan dilakukan dengan pengawasan intensif selama beberapa minggu sebelumnya. Berikut rincian wilayah dan inisial terduga pelaku:
Bogor, Jawa Barat:
Seorang pria berinisial A (34 tahun) ditangkap di sebuah kontrakan di kawasan Cibinong. A disebut sebagai simpatisan aktif dari jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD), sebuah organisasi teroris yang telah dibekukan dan dinyatakan sebagai kelompok terlarang di Indonesia.
Depok, Jawa Barat:
Terduga kedua, berinisial M (29 tahun), diamankan di wilayah Beji. M diketahui aktif di media sosial yang menyebarkan propaganda kekerasan dan perekrutan anggota baru. Ia juga diduga menjalin komunikasi dengan kelompok militan di luar negeri melalui aplikasi pesan terenkripsi.
Berau, Kalimantan Timur:
Dua terduga lainnya, berinisial S (40 tahun) dan I (36 tahun), ditangkap di lokasi terpisah di Kabupaten Berau. Keduanya merupakan bagian dari sel tidur yang sebelumnya terpantau sempat aktif dalam latihan militer semi-terstruktur (jihadi camp) di pedalaman Kalimantan pada tahun 2023.
Seluruh penangkapan dilakukan tanpa perlawanan. Densus 88 mengamankan sejumlah barang bukti seperti dokumen, ponsel, laptop, serta senjata tajam dan bahan kimia yang diduga digunakan untuk eksperimen bahan peledak rakitan.
Keempat terduga disebut memiliki keterkaitan dengan jaringan radikal berbasis ideologi takfiri, yakni pemahaman keagamaan yang mengkafirkan pihak lain di luar kelompok mereka. Densus 88 menduga mereka merupakan bagian dari simpatisan JAD dan jaringan global Islamic State (ISIS), meski tidak semua terhubung langsung ke struktur internasional.
Menurut Kombes Pol Aswin Siregar, juru bicara Densus 88, kelompok ini masih aktif merekrut anggota baru secara daring, khususnya melalui platform media sosial dan forum tertutup.
“Mereka menyebarkan narasi intoleransi dan ajakan berjihad kepada generasi muda. Target mereka adalah individu yang merasa kecewa terhadap sistem sosial dan mencari ‘identitas’ baru,” ujar Aswin dalam konferensi pers, 6 Agustus 2025.
Meski belum ditemukan bukti rencana aksi teror dalam waktu dekat, Densus 88 menyebut keempat terduga telah mempersiapkan beberapa agenda “amaliyah” atau aksi kekerasan di tempat umum, seperti kantor pemerintahan, rumah ibadah, hingga pusat perbelanjaan. Dokumen yang ditemukan menunjukkan adanya sketsa lokasi dan pembagian tugas dalam jaringan mereka.
Yang menjadi perhatian utama, dua dari pelaku yang ditangkap di Berau diketahui memiliki kemampuan teknis dalam merakit bom berdaya ledak rendah. Jika tidak segera ditindak, potensi ancaman terhadap keamanan masyarakat sipil sangat besar.
Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) menyambut baik langkah cepat Densus 88 dalam menangani potensi ancaman sejak dini. Menurut Menko Polhukam Hadi Tjahjanto, pemerintah terus memperkuat sistem deteksi dini dan memperluas kerja sama antar lembaga, termasuk dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat.
“Ancaman terorisme bukan hanya tanggung jawab polisi, tapi seluruh elemen masyarakat harus proaktif. Waspadai lingkungan sekitar, laporkan jika ada aktivitas mencurigakan,” ujar Hadi.
Penangkapan di Depok membuka kembali diskusi mengenai bagaimana internet menjadi sarana subur untuk penyebaran radikalisme. Generasi muda yang aktif di dunia maya sangat rentan disusupi ideologi kekerasan, terutama jika sedang mengalami krisis identitas atau keterasingan sosial.
Pemerintah terus bekerja sama dengan penyedia platform digital seperti Meta, Google, dan Telegram untuk menghapus konten ekstrem dan akun radikal. Namun, proses ini tetap menantang karena jaringan terorisme kini semakin canggih dalam menyembunyikan jejak digital mereka.
Pencegahan terorisme kini tidak lagi hanya fokus pada aspek keamanan, tetapi juga pendekatan sosial dan psikologis. Program deradikalisasi yang dikelola oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) turut dilibatkan untuk mengubah cara pikir para eks-narapidana terorisme agar kembali menjadi bagian dari masyarakat.
Beberapa pendekatan yang sedang digencarkan antara lain:
Edukasi ideologi moderat di sekolah dan pesantren.
Pelatihan kerja dan reintegrasi sosial bagi mantan napi terorisme.
Kampanye media sosial untuk melawan narasi intoleransi.
BY : PELOR
Kondisi jalan rusak di Gorontalo memaksa warga mengangkut jenazah dengan motor menuju rumah duka. Potret…
DPRD desak Pemko Medan bangun pompa air di titik rawan banjir, langkah penting untuk tanggulangi…
Fobia adalah ketakutan berlebihan terhadap objek atau situasi tertentu yang bisa memengaruhi kehidupan sehari-hari. Artikel…
"Temukan 10 buah-buahan penyerap racun yang membantu detoks alami tubuh. Dari lemon, apel, hingga buah…
Fenomena Langka Menghebohkan Dunia Video penampakan paus biru kerdil di perairan Busselton Jetty, Australia Barat,…