Demo Nepal Tewaskan 51 Orang, 12.533 Napi Masih Buron

KATHMANDU, KOMPAS.com – pPolisi Neal melaporkan sedikitnya 51 orang tewas dalam gelombang protes antikorupsi yang berlangsung ricuh sepanjang pekan ini. Angka tersebut disampaikan pada Jumat (12/9/2025), menegaskan besarnya skala kekacauan yang menggulingkan pemerintahan. Demo Nepal dipicu larangan pemerintah terhadap media sosial, isu korupsi, dan tata kelola pemerintahan yang buruk.
Aksi yang bermula pada Senin itu berujung pada bentrokan mematikan dengan aparat keamanan. Juru bicara kepolisian, Binod Ghimire, menyebut 21 pengunjuk rasa berada di antara korban tewas, bersama tiga polisi.
“Sebanyak 51 orang tewas sejauh ini minggu ini dalam protes tersebut,” kata Ghimire kepada AFP.
Pada Selasa, massa membakar gedung parlemen. Perdana Menteri KP Sharma Oli kemudian mengundurkan diri, dan tentara mengambil alih kendali jalan-jalan. Militer juga memberlakukan jam malam untuk meredam situasi.
Tentara Nepal menyatakan telah menemukan lebih dari 100 senjata yang dijarah dalam kerusuhan. Sejumlah pengunjuk rasa bahkan terlihat mengacungkan senapan otomatis ketika bentrokan berlangsung.
Kekacauan ini juga dimanfaatkan ribuan narapidana untuk kabur.
Menurut Ghimire, sekitar 13.500 orang melarikan diri dari berbagai penjara di seluruh negeri. “Beberapa telah ditangkap kembali, 12.533 masih buron,” ujarnya.
Sebagian napi yang kabur tewas dalam bentrokan dengan pasukan keamanan.
Ada pula buronan yang mencoba menyeberang ke India melalui perbatasan yang terbuka dan rawan. Pasukan perbatasan India dilaporkan telah menangkap sejumlah pelarian tersebut.
Sementara itu, perundingan masih terus berlangsung antara presiden, perwakilan kelompok protes, tokoh politik, dan militer. Pembicaraan itu bertujuan menentukan sosok yang akan memimpin pemerintahan sementara di tengah krisis politik Nepal.
Nepal diguncang gelombang protes besar-besaran yang dipimpin generasi muda sejak Jumat (5/9/2025). Adapun demo Nepal itu bermula dari kebijakan pemerintah memblokir sejumlah platform media sosial, lalu berkembang menjadi ledakan amarah atas dugaan korupsi pejabat dan minimnya peluang ekonomi. Kerusuhan yang terjadi pada Senin (8/9/2025) berujung tragedi. Setidaknya 22 orang dilaporkan tewas, sedangkan lebih dari 400 orang lainnya mengalami luka-luka.
Kemarahan warga, terutama kelompok usia 13–28 tahun atau generasi Z, sebenarnya sudah lama terpendam. Mereka menuding pemerintah gagal memberantas korupsi yang telah berlangsung puluhan tahun.
Kekecewaan semakin memuncak ketika pemerintah Nepal memutuskan memblokir media sosial populer, seperti Facebook, Instagram, WhatsApp, YouTube, hingga X.
Kebijakan ini disebut bertujuan membendung berita bohong dan ujaran kebencian, sekaligus menekan perusahaan teknologi asing agar mendaftar secara resmi di Nepal.
Namun, kebijakan tersebut justru memantik gelombang demonstrasi di Ibu Kota Kathmandu dan kota-kota lainnya.
Menurut Bank Dunia, tingkat pengangguran pemuda di Nepal mencapai 20,8 persen pada 2024, situasi yang memperkuat rasa frustrasi generasi muda.
Selain itu, gerakan daring yang menentang Nepo Kids atau istilah bagi anak-anak politisi yang kerap memamerkan gaya hidup mewah turut memperbesar kemarahan publik terhadap kesenjangan sosial dan praktik nepotisme.
Berubah menjadi kerusuhan Nepal
Aksi damai berubah ricuh pada Senin (8/9/2025) ketika massa mencoba menerobos barikade kawat berduri di sekitar kompleks parlemen Kathmandu. Polisi merespons dengan gas air mata, meriam air, peluru karet, bahkan diduga peluru tajam.
“Polisi menembak tanpa pandang bulu,” kata seorang pengunjuk rasa kepada Reuters.
Reuters melaporkan, massa yang sebagian besar pelajar sekolah dan mahasiswa melempari polisi anti huru-hara dengan benda-benda, bahkan membakar ambulans serta pos polisi. Video yang beredar juga memperlihatkan rumah pribadi Perdana Menteri KP Sharma Oli dirusak dan dibakar oleh demonstran.
Tentara Nepal akan melanjutkan perundingan dengan perwakilan demonstran generasi Z (Gen Z) pada Kamis (11/9/2025) untuk menentukan sosok pemimpin sementara.
Setelah demo Nepal berujung ricuh dan terjadi kerusuhan di mana-mana, Perdana Menteri KP Sharma Oli dan Presiden Ram Chandra Poudel mundur dari jabatannya. Situasi Nepal kini berangsur tenang setelah protes besar yang digerakkan generasi muda, dikenal sebagai “protes Gen Z”, menewaskan sedikitnya 30 orang dan melukai lebih dari 1.000 korban.
Juru bicara militer Nepal, Raja Ram Basnet, mengatakan bahwa pembicaraan awal dengan demonstran telah dimulai dan akan terus berlanjut.
Perundingan awal sedang berlangsung dan akan dilanjutkan hari ini,” ujarnya kepada Reuters, menambahkan bahwa pihaknya berupaya menormalkan situasi secara bertahap. Tolak Pemblokiran Media Sosial, 19 Tewas Ditembak Polisi Nepal
Dalam proses pencarian pemimpin sementara, nama mantan Ketua Mahkamah Agung Nepal, Sushila Karki, mencuat sebagai kandidat terkuat.
Karki merupakan perempuan pertama yang menjabat posisi tersebut pada 2016. Para pengunjuk rasa menyebut Karki sebagai sosok yang bersih dan tegas dalam integritas. “Kami melihat Sushila Karki apa adanya. Jujur, tak kenal takut, dan teguh,” kata Sujit Kumar Jha, demonstran berusia 34 tahun.
“Dia pilihan yang tepat. Ketika kebenaran berbicara, itu terdengar seperti Karki.” Menurut sumber yang mengetahui perkembangan, Karki (73) telah menyatakan kesediaannya. Namun, pemerintah dan militer masih mencari dasar konstitusional untuk proses pengangkatannya. Kendati demikian, belum semua kelompok demonstran sepakat dengan pencalonannya. Beberapa tokoh pedemo dikabarkan masih mencari kesepakatan bulat terkait figur pengganti. Hingga Kamis, Karki belum memberikan pernyataan publik dan tidak menjawab panggilan telepon dari Reuters.