Masalah sampah menjadi salah satu isu lingkungan paling mendesak di Indonesia. Dari perkotaan hingga pedesaan, sampah seakan tidak pernah berhenti menumpuk. Sungai tercemar, laut dipenuhi plastik, dan tempat pembuangan akhir (TPA) sudah kelebihan kapasitas. Pemerintah Indonesia menargetkan pengelolaan sampah tuntas pada 2029, sebuah janji besar yang menimbulkan pertanyaan: mungkinkah target ambisius ini benar-benar tercapai?
Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia menghasilkan lebih dari 60 juta ton sampah per tahun. Sekitar 60 persen berasal dari rumah tangga, sisanya dari pasar, restoran, industri, dan fasilitas umum. Dari jumlah tersebut, sekitar 30 persen masih belum tertangani dengan baik, berakhir di sungai, pantai, hingga lautan.
Indonesia bahkan masuk dalam daftar penyumbang sampah plastik laut terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok. Setiap tahun, jutaan ton plastik dari negeri ini hanyut ke laut, mengancam ekosistem dan rantai makanan manusia.
Dengan kondisi seperti ini, target “sampah tuntas 2029” tampak seperti mimpi besar yang butuh kerja keras luar biasa.
Pemerintah menetapkan target pengelolaan sampah nasional melalui Perpres No. 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah (Jakstranas). Dalam dokumen itu, disebutkan bahwa pada tahun 2025 Indonesia harus mengurangi 30 persen timbulan sampah dan menangani 70 persen sampah secara terpadu.
Target 2029 bisa dipahami sebagai kelanjutan komitmen ini, yaitu mewujudkan pengelolaan sampah yang lebih komprehensif—bukan sekadar mengurangi, tetapi memastikan siklus sampah dari hulu hingga hilir bisa ditangani dengan baik. Dengan kata lain, tidak ada lagi sampah yang dibiarkan mencemari lingkungan.
Meski niatnya mulia, jalan menuju Indonesia bebas sampah penuh rintangan. Beberapa tantangan utama antara lain:
Kesadaran Masyarakat Rendah
Budaya buang sampah sembarangan masih melekat. Dari plastik sekali pakai, puntung rokok, hingga limbah rumah tangga, banyak yang berakhir di jalan, sungai, atau laut. Upaya edukasi sudah berjalan, tetapi perubahan perilaku butuh waktu panjang.
Infrastruktur Pengelolaan Sampah Terbatas
Banyak daerah di Indonesia masih mengandalkan sistem kumpul-angkut-buang ke TPA. Padahal, TPA sudah kelebihan kapasitas dan sering menimbulkan bencana, seperti longsor sampah di Leuwigajah (2005) yang menewaskan ratusan orang.
Minimnya Ekonomi Sirkular
Konsep reduce, reuse, recycle (3R) belum menjadi arus utama. Industri daur ulang masih menghadapi tantangan regulasi, investasi, dan pasokan bahan baku. Akibatnya, nilai ekonomi dari sampah belum termanfaatkan maksimal.
Sampah Plastik yang Sulit Terurai
Plastik sekali pakai masih mendominasi. Meski ada larangan kantong plastik di beberapa daerah, implementasinya belum merata. Tanpa solusi substitusi yang murah dan praktis, plastik akan terus mendominasi.
Koordinasi Pemerintah yang Rumit
Urusan sampah melibatkan banyak pihak—pemerintah pusat, daerah, swasta, hingga masyarakat. Lemahnya koordinasi membuat kebijakan sering tidak sinkron di lapangan.
Meski tantangan berat, ada juga secercah harapan. Sejumlah program inovatif menunjukkan bahwa pengelolaan sampah bisa berhasil jika ada kemauan dan kolaborasi.
Bank Sampah
Gerakan bank sampah berkembang pesat di berbagai kota. Warga bisa menabung sampah yang sudah dipilah, kemudian mendapat nilai ekonomi dari penjualan ke pengepul atau industri daur ulang.
Teknologi Waste-to-Energy
Beberapa kota besar mulai membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Meski masih kontroversial terkait biaya dan dampak lingkungan, teknologi ini bisa menjadi alternatif mengurangi timbulan sampah.
Larangan Plastik Sekali Pakai
Sejumlah daerah seperti Bali, Bekasi, dan Jakarta sudah melarang kantong plastik sekali pakai di pusat perbelanjaan. Meski awalnya menuai pro-kontra, kebijakan ini mulai menunjukkan hasil positif.
Startup Pengelolaan Sampah
Banyak perusahaan rintisan muncul dengan inovasi digital, seperti aplikasi untuk menjemput sampah terpilah, marketplace bahan daur ulang, hingga edukasi berbasis teknologi.
Tidak ada target yang bisa tercapai tanpa keterlibatan masyarakat. Setiap individu punya peran penting dalam mewujudkan Indonesia bebas sampah 2029.
Mengurangi Konsumsi Plastik: Membawa tas belanja sendiri, menggunakan botol minum isi ulang, dan memilih produk dengan kemasan ramah lingkungan.
Memilah Sampah dari Rumah: Memisahkan organik, anorganik, dan residu untuk mempermudah proses daur ulang.
Mendukung Produk Daur Ulang: Membeli produk hasil daur ulang akan menciptakan pasar yang lebih sehat bagi industri pengelolaan sampah.
Ikut Gerakan Komunitas: Bergabung dalam kegiatan bersih-bersih lingkungan, bank sampah, atau kampanye lingkungan.
Jawabannya masih terbuka. Jika merujuk pada kondisi saat ini, target tersebut tampak sulit dicapai. Infrastruktur terbatas, kesadaran masyarakat masih rendah, dan kebijakan sering berjalan setengah hati.
Namun, bukan berarti mustahil. Dengan langkah konkret, target ini bisa setidaknya mendekati kenyataan. Beberapa syarat penting yang harus dipenuhi adalah:
Kepemimpinan Politik yang Kuat
Pemerintah harus konsisten menegakkan regulasi dan memberikan insentif bagi inovasi. Tanpa komitmen politik, program hanya akan menjadi slogan.
Investasi Besar pada Infrastruktur
Mulai dari fasilitas daur ulang, TPA modern, hingga teknologi energi dari sampah harus diperluas secara masif.
Edukasi dan Perubahan Perilaku
Kampanye lingkungan harus berkelanjutan dan melibatkan sekolah, media, komunitas, serta tokoh publik.
Kolaborasi Multisektor
Dunia usaha, komunitas, akademisi, dan masyarakat sipil harus bergerak bersama. Sampah bukan hanya urusan pemerintah, melainkan masalah bersama.
Sampah adalah cermin peradaban. Cara suatu bangsa mengelola sampahnya menunjukkan kualitas tata kelola dan kesadaran masyarakatnya. Target Indonesia untuk menuntaskan persoalan sampah pada 2029 memang ambisius, tetapi tetap mungkin jika ada komitmen, kolaborasi, dan aksi nyata.
Pertanyaannya kini bukan hanya “bisakah sampah Indonesia tuntas 2029?” melainkan “mau atau tidak bangsa ini berubah?” Jika semua pihak bersatu, mimpi itu bisa mendekati kenyataan, dan Indonesia tak lagi dikenal sebagai salah satu penyumbang sampah terbesar dunia, melainkan sebagai contoh negara berkembang yang berhasil menata lingkungannya.
BY : PELOR
Fenomena Parkir Ilegal di Bogor yang Menghebohkan Kota Bogor baru-baru ini digemparkan oleh viralnya aksi…
GERD (Gastroesophageal Reflux Disease) atau penyakit refluks gastroesofagus adalah kondisi medis kronis yang terjadi ketika…
Piala Dunia 2026 tidak hanya menjadi ajang olahraga, tetapi juga ikut terseret ke dalam isu politik…
Di balik tanah yang basah dan berlapis lumut, di lorong-lorong gelap yang tak pernah disentuh…
Kolagen atau protein struktural adalah protein utama dalam tubuh manusia yang berfungsi sebagai perekat alami…
Pendahuluan Fenomena perjudian online (judol) kian marak di berbagai wilayah Indonesia, termasuk Jakarta Barat (Jakbar).…