Sejak awal pandemi COVID-19, banyak orang telah melaporkan bahwa setelah sembuh (atau setidaknya setelah fase akut infeksi berlalu), mereka tetap mengalami gejala yang menetap — kelelahan, sesak napas, nyeri, gangguan tidur, dan terutama keluhan “kabut otak” atau brain fog. “Kabut otak” ini mencakup masalah dengan konsentrasi, ingatan, kecepatan berpikir, kebingungan ringan, dan kesulitan melakukan multitasking atau berpikir jelas.
Bagi sebagian orang, gejala ini mengganggu kehidupan sehari-hari: pekerjaan, interaksi sosial, membesarkan anak, belajar, bahkan aktivitas sederhana seperti membaca atau mengemudi menjadi berat atau tidak efektif. Apakah ini nyata secara ilmiah? Apakah ada bukti objektif bahwa otak benar-benar mengalami perubahan? Apakah ini bersifat sementara, atau bisa permanen? Artikel ini mencoba menyajikan apa yang telah dipelajari sejauh ini.
Long COVID, atau yang juga disebut post-COVID condition, adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi di mana gejala fisik dan/atau neurologis tetap ada atau baru muncul setelah masa akut infeksi SARS-CoV-2 berlalu, biasanya setelah 4-12 minggu atau lebih. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan Long COVID sebagai kondisi yang muncul sekitar 3 bulan setelah infeksi, berlangsung setidaknya 2 bulan, dan tidak dijelaskan oleh diagnosis alternatif.
Brain fog bukan istilah medis resmi, tetapi dipakai secara luas oleh pasien dan dalam literatur untuk merujuk pada kumpulan gejala neurokognitif:
kesulitan fokus dan konsentrasi
ingatan jangka pendek yang lemah
lambatnya berpikir atau memproses informasi
kebingungan ringan
kelelahan mental (mental fatigue)
sulit menemukan kata (word-finding), menyusun ide, atau berpikir multitugas
Brain fog dalam konteks Long COVID telah dikaitkan dengan gejala lainnya seperti kelelahan fisik, gangguan tidur, kecemasan/depresi. Namun penting: dalam banyak studi, keluhan subjektif ini juga diuji dengan tes neurokognitif objektif, pencitraan otak, dan biomarker.
Cek meta-analisis: Sebuah systematic review dan meta-analisis terhadap studi hingga Agustus 2023 melaporkan bahwa prevalensi kondisi mental dan brain fog di antara pasien Long COVID (dengan infeksi terdokumentasi) adalah 20,4% (95% CI: 11,1%–34,4%). PubMed
Menariknya, prevalensinya lebih tinggi di antara mereka yang dikelola di masyarakat (non-rumah sakit) dibandingkan yang dirawat rumah sakit. PubMed
Studi tindak lanjut menunjukkan bahwa meskipun banyak orang menunjukkan perbaikan, sejumlah signifikan masih mengalami kesulitan kognitif bahkan setelah 1 tahun atau lebih. PubMed+3PubMed+3PubMed+3
Dalam “Cognitive impairments among patients in a long-COVID clinic” (sekitar 194 pasien, rata-rata 7 bulan setelah infeksi), ditemukan bahwa 44-53% pasien menunjukkan gangguan kognitif yang secara klinis relevan jika dibandingkan dengan ukuran kontrol sehat dan kinerja yang diharapkan berdasarkan usia, jenis kelamin, pendidikan. PubMed
Kerusakan ini terutama muncul di domain seperti working memory, fungsi eksekutif, juga verbal fluency, pembelajaran verbal dan memori. PubMed
Pada studi follow-up 2 tahun: pasien yang sebelumnya dirawat di rumah sakit mengalami gejala brain fog dan defisit perhatian/ingatan kerja yang masih bisa diukur. PubMed
Studi dari Argentina yang menggunakan MRI struktural menunjukkan bahwa dua tahun pasca infeksi, banyak pasien dengan Long COVID melaporkan gejala kognitif seperti komunikasi sulit, memori, perhatian; kualitas hidup tetap rendah; ada bukti ringan penyusutan (atrofi) otak, meskipun tidak selalu ditunjukkan defisit kognitif yang sangat parah dalam tes yang digunakan. BioMed Central
Studi-studi menunjukkan bahwa pasien yang mengalami defisit kognitif juga melaporkan penurunan kemampuan kerja, efektivitas dalam pekerjaan, kualitas hidup, kemampuan melakukan tugas rumah tangga dan sosial. MDPI+2PubMed+2
Gejala subjektif seringkali sangat mengganggu — pasien melaporkan: kehilangan kata, lupa apa yang baru saja dibicarakan, kesulitan membaca atau memahami teks panjang, cepat lelah setelah berpikir, harus mengulang pekerjaan mental, dll. MDPI
Agar brain fog dapat dianggap nyata secara biologis, perlu ada bukti perubahan fisik, molekuler, atau fisiologis yang bisa diukur. Berikut mekanisme yang telah diungkap:
Peradangan sistemik dan neuroinflamasi
Infeksi SARS-CoV-2 dapat memicu respons imun yang kuat, termasuk peningkatan sitokin (cytokines) proinflamasi. Beberapa penelitian menemukan bahwa tingkat sitokin yang tinggi selama dan pasca infeksi terkait dengan gangguan kognitif. PubMed+2covid19.nih.gov+2
Mikrogliosis (aktivasi sel glia mikro di otak) dan perubahan inflamasi otak bisa memengaruhi sinapsis, neurogenesis, serta pengaturan neurotransmiter. OUP Academic
Persistensi viral atau antigen SARS-CoV-2
Beberapa studi menemukan bahwa mereka yang butuh waktu lama untuk membersihkan RNA virus dari saluran pernapasan atas (lebih dari 28 hari) lebih mungkin mengalami brain fog dan nyeri otot pada 90+ hari setelah onset infeksi. NCBI
Teori bahwa mungkin ada reservoir virus atau antijen sisa yang memicu respons imun terus-menerus.
Kerusakan vaskular dan gangguan aliran darah
Beberapa studi menunjukkan bukti bahwa COVID-19 dapat menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah, mikroembolisme, gangguan endotel, dan ini bisa memengaruhi suplai oksigen ke jaringan otak, metabolisme glukosa otak, atau integritas sawar darah-otak (blood-brain barrier). (Studi-studi ongoing)
Perubahan struktur dan volume otak
Dari penelitian MRI: terdapat bukti ringan penyusutan materi abu-abu di beberapa daerah otak, perubahan pada hippocampus dan korteks tertentu, meskipun seringkali kecil dan variatif antar individu. BioMed Central+1
Penelitian‐baru dari Jepang melaporkan bahwa terdapat peningkatan aktivitas reseptor AMPA (AMPAR) di otak pasien Long COVID, yang berkorelasi dengan keparahan gejala kognitif. Ini menjadi salah satu bukti molekuler langsung bahwa ada perubahan dalam komunikasi antar sel saraf. euronews
Kurangnya oksigen selama tahap akut / stres oksidatif
Pada pasien parah COVID yang membutuhkan ventilasi atau oksigenasi tambahan, bisa terjadi hipoksia (kekurangan oksigen) yang merusak sel, terutama di area otak yang sangat bergantung pada oksigen. Risiko kerusakan sel saraf lebih besar.
Meski untuk pasien ringan hingga sedang, ada bukti bahwa stres oksidatif dan produksi radikal bebas meningkat selama infeksi, yang bisa menimbulkan kerusakan pada neuron dan jaringan penunjang.
Peran faktor psikologis dan fisik lainnya
Ketidakcukupan tidur, gangguan pola tidur, stres, kecemasan, depresi, isolasi sosial — semua ini bisa memperburuk keluhan kognitif. Kadang sulit membedakan sejauh mana faktor psikologis memperparah, atau malah sebagian penyebab.
Penurunan aktivitas fisik juga dapat memperburuk sirkulasi, metabolisme otak, dan daya tahan mental.
Perubahan metabolik atau mikrobial
Beberapa penelitian awal (termasuk yang didukung NIH) menunjukkan kemungkinan perubahan pada gut microbiome (mikrobiota usus), yang kemudian bisa mempengaruhi metabolisme neurokimia, produksi neurotransmiter seperti serotonin, dan interaksi sistem imun. covid19.nih.gov
Salah satu perkembangan paling signifikan dalam bulan-terakhir (2025) adalah studi yang dipimpin oleh Profesor Takuya Takahashi di Yokohama City University, Jepang, yang menggunakan teknik pencitraan baru (AMPA receptor PET imaging) untuk “melihat” aktivitas reseptor AMPA di otak pasien Long COVID.
Mereka membandingkan 30 pasien Long COVID dengan 80 orang sehat. euronews
Hasilnya: pasien Long COVID menunjukkan peningkatan densitas reseptor AMPA secara luas di otak; dan tingkat kenaikan ini berkorelasi dengan seberapa parah gejala kognitif mereka. euronews
Hal ini menunjukkan bahwa perubahan molekuler yang terukur — bukan hanya keluhan subjektif — terjadi dalam sistem neurotransmiter yang penting untuk belajar dan memori.
Ini menjadi salah satu bukti paling kuat bahwa brain fog pada Long COVID bukan hanya “merasa lupa” atau “terlalu lelah”, melainkan ada perubahan biologis nyata di dalam jaringan otak.
Dari literatur yang ada, beberapa faktor yang diketahui meningkatkan kemungkinan seseorang mengalami brain fog yang menetap:
Umur lebih tua. PubMed+2BioMed Central+2
Tingkat keparahan COVID-19 akut: pasien yang butuh rawat inap atau ICU memiliki risiko lebih tinggi. Namun, gejala juga muncul di mereka yang melalui infeksi ringan. PubMed+2PubMed+2
Komorbiditas (misalnya obesitas, penyakit paru, penyakit jantung, penyakit kronis lainnya) serta faktor demografis seperti pendidikan, status sosial ekonomi. PubMed+1
Aktivitas fisik rendah, kurang tidur, kurang istirahat, stres psikologis yang tinggi. PubMed+1
Waktu pembersihan virus yang lambat (viral RNA clearing) dari saluran pernapasan atas: mereka yang lebih lama menahan RNA viral berisiko lebih besar mengalami gejala yang menetap. NCBI
Jumlah / durasi gejala awal: lebih banyak gejala pada fase akut tampaknya berkorelasi dengan risiko Long COVID brain fog lebih besar. Namun data masih heterogen.
Sejumlah studi tindak lanjut menunjukkan bahwa beberapa orang masih memiliki gejala kognitif atau defisit terukur 1 tahun atau lebih setelah infeksi. Misalnya:
“Two studies confirm the persistence of prolonged cognitive impairment up to one year after infection.” Le Monde.fr
Studi jangka panjang dari pasien yang dirawat di rumah sakit menunjukkan bahwa meskipun ada perbaikan, defisit kognitif (terutama pada domain memori, perhatian, kecepatan proses) mungkin bertahan selama 2 tahun atau lebih. PubMed+1
Namun, banyak pasien melaporkan bahwa sebagian besar gejala membaik seiring waktu—baik dengan pemulihan spontan, latihan kognitif, rehabilitasi, perubahan gaya hidup. Meski demikian, bagi sebagian, perbaikan bisa sangat lambat dan tidak lengkap.
Walaupun sudah banyak bukti, ada juga beberapa keterbatasan yang perlu diperhatikan:
Variasi definisi
Long COVID dan brain fog belum memiliki definisi yang seragam di semua studi. Beberapa menggunakan keluhan subjektif; yang lain menggunakan tes objektif; durasi gejala yang dianggap “long” berbeda-beda.
Uji kognitif yang tidak seimbang dan kurang sensitif
Banyak studi menggunakan screening yang relatif kasar atau tes singkat; mungkin tidak cukup mendeteksi gangguan ringan.
Sebaliknya, studi dengan tes neuropsikologi penuh sering terbatas ukurannya dan sumber daya.
Pengaruh psikologis dan faktor non-spesifik
Gangguan tidur, stres, depresi, kecemasan dan kelelahan dapat memberikan efek besar terhadap kognisi. Sulit memisahkan efek langsung infeksi viral dari efek psikologis atau sosial.
Faktor seperti isolasi sosial, kehilangan pekerjaan, trauma bisa ikut mempengaruhi.
Kurangnya data longitudinal dan pencitraan neurobiologis sebelumnya
Agar bisa mengkonfirmasi perubahan, idealnya dibutuhkan data pra infeksi, atau setidaknya kontrol yang sangat baik yang cocok secara demografis. Banyak studi tidak memiliki baseline pra-infeksi.
Pencitraan otak dan biomarker molekuler masih relatif baru dan jumlahnya masih terbatas.
Potensi bias dalam studi laporan diri
Banyak data yang diperoleh melalui kuesioner, wawancara, laporan pasien sendiri. Ada risiko bias ingatan, ekspektasi, seleksi responden yang lebih berat gejala.
Varian virus dan efek vaksinasi
Varian SARS-CoV-2 berbeda, tingkat keparahan penyakit, dan status vaksinasi mempengaruhi risiko dan keparahan Long COVID. Studi harus memperhitungkan ini.
Beberapa bukti bahwa vaksinasi dapat menurunkan risiko Long COVID (termasuk brain fog), tapi sejauh mana dan pada siapa efeknya paling besar masih dalam penelitian. PubMed+1
Setelah melihat bukti di atas, berikut garis besar elemen yang menunjukkan bahwa brain fog pada Long COVID bukan hanya “perasaan” atau “psikologis semata”:
Ada tes kognitif objektif yang menunjukkan perbedaan performa antara pasien dan kontrol sehat dalam domain memori, perhatian, kecepatan berpikir, fungsi eksekutif. BioMed Central+3PubMed+3The Guardian+3
Pencitraan otak (MRI struktural, pencitraan PET di Jepang) menunjukkan perubahan nyata — baik dalam struktur bahan abu-abu, aktivitas reseptor AMPA, atau corak metabolik, yang konsisten dengan keluhan kognitif. BioMed Central+1
Kaitan antara durasi infeksi (viral load / clearance RNA) dan gejala jangka panjang menunjukkan komponen biologis yang bersifat kontinu, bukan semata pasca trauma psikologis. NCBI
Korelasi antara biomarker inflamasi dan defisit kognitif: orang dengan tingkat sitokin tertentu lebih sering melaporkan gejala atau menunjukkan penurunan dalam tes kognitif. PubMed+2covid19.nih.gov+2
Tindak lanjut jangka panjang menunjukkan adanya gejala yang terus ada selama bulan-bulan hingga tahun, meskipun ada perbaikan di banyak kasus. Ini berbeda dengan gejala akut yang biasanya sembuh dalam beberapa minggu. PubMed+2BioMed Central+2
Brain fog dalam Long COVID bukan sekadar keluhan ringan — dampak nyata bisa luas:
Penurunan produktivitas: pasien yang sebelumnya bekerja penuh waktu bisa mengurangi jam kerja, bahkan berhenti kerja jika gangguan kognitif terlalu mengganggu.
Pendidikan dan pembelajaran: pelajar atau mahasiswa mungkin mengalami kesulitan mengikuti kuliah, mengingat materi, menyelesaikan tugas, yang dapat memengaruhi prestasi.
Kualitas hidup: ketidakmampuan melakukan hal yang dulu mudah, frustrasi, kehilangan rasa percaya diri, isolasi sosial, bahkan depresi.
Beban kesehatan masyarakat: jumlah orang yang menderita Long COVID dan brain fog cukup besar, sehingga diperlukan dukungan medis, rehabilitasi, dan mungkin pengaturan kebijakan (misalnya cuti sakit jangka panjang, dukungan kerja).
Meskipun belum ada “obat ajaib” yang secara spesifik menyembuhkan brain fog Long COVID, beberapa pendekatan sudah dipakai dan diteliti:
Rehabilitasi kognitif
Latihan-latihan otak: latihan memori, perhatian, tugas berpikir kompleks, latihan kecepatan pengolahan, terapi okupasi.
Program rehabilitasi terpadu yang juga memasukkan latihan fisik, nutrisi, tidur yang baik.
Penanganan faktor pendukung
Memperbaiki pola tidur, mengobati gangguan tidur jika ada insomnia atau sleep apnea.
Mengelola stres, depresi, kecemasan dengan psikoterapi, konseling, dukungan sosial.
Memastikan nutrisi cukup dan olahraga moderat, aktivitas fisik yang aman.
Medikasi / penelitian molekuler
Belum ada obat khusus yang disetujui karena penelitian masih dalam tahap awal.
Studi seperti dari Jepang yang menemukan aktivitas AMPA yang abnormal membuka kemungkinan terapi yang menargetkan neurotransmiter atau reseptor terkait. euronews
Obat-obatan anti-inflamasi, imunomodulator, antioksidan juga sedang dieksplorasi.
Dukungan pekerjaan / sosial
Penyesuaian beban kerja, pekerjaan fleksibel, istirahat lebih sering, pengaturan waktu kerja dan lingkungan kerja yang mendukung.
Pendidikan masyarakat untuk menerima Long COVID dan gejala kognitifnya sebagai kondisi yang nyata, untuk mengurangi stigma.
Beberapa hal penting yang masih dipelajari:
Seberapa lama gejala brain fog bertahan, dan faktor yang membuat beberapa orang pulih penuh versus sebagian atau tidak pulih sama sekali?
Bagaimana varian SARS-CoV-2 yang berbeda, status vaksinasi, dan prior history kesehatan memengaruhi risiko dan keparahan brain fog?
Apakah perubahan struktural otak yang teramati bersifat permanen atau sebagian bisa pulih? dan jika bisa, dalam kondisi apa (rehabilitasi, terapi tertentu, waktu)?
Biomarker spesifik mana yang bisa dipakai secara klinis untuk diagnosis, prognosis, dan pemantauan perawatan?
Apakah ada lokasi otak atau sirkuit neuronal spesifik yang paling terpengaruh, sehingga terapi bisa lebih terarah?
Bagaimana peran mikrobioma usus, metabolisme, dan hormon dalam modulasi gangguan kognitif ini?
Bagaimana efek cumulative (berkali-kali infeksi) terhadap brain fog? Apakah infeksi ulang memperburuk atau memperpanjang gejala?
Berdasarkan bukti klinis, neuropsikologis, pencitraan, dan penelitian molekuler terbaru, sangat jelas bahwa Long COVID dengan gejala “kabut otak” adalah kondisi nyata, bukan sekadar keluhan psikologis atau efek samping ringan yang akan hilang begitu saja. Ada bukti bahwa SARS-CoV-2 dapat menyebabkan perubahan yang dapat diukur di otak, dalam tingkat neurotransmiter, struktur otak, dan performa kognitif.
Meski banyak orang membaik, bagi sebagian, dampaknya cukup berat dan menetap. Oleh karena itu, pengakuan klinis penting — agar pasien mendapatkan diagnosis yang tepat, dukungan terapi, rehabilitasi, dan bantuan dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan interdisipliner akan sangat membantu: kedokteran, neurologi, psikologi, rehabilitasi, bahkan kebijakan publik dan hak kerja.
By: BomBom
Pada dasarnya, komitmen orang sukses terhadap fitness adalah cerminan dari visi jangka panjang dan kesediaan…
Pendahuluan Dalam era modern yang semakin sadar lingkungan, kebutuhan terhadap bahan alami meningkat pesat. Salah…
Polda Metro Jaya dalam menyerap aspirasi warga Kelapa Gading melalui forum Satkamling sebagai langkah nyata…
Donasi adalah bentuk kebaikan, bukan tentang menciptakan ikatan seumur hidup. Saya bersyukur bisa menyelamatkan sebuah…
https://yokmaju.com/