Agama Google" adalah fenomena unik di mana sekelompok orang di Indonesia, yang dikenal sebagai "The Church of Google" atau "Gereja Google,
Agama Google: Sekelompok Orang Menyembah Google sebagai Tuhan
Fenomena agama dan kepercayaan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah manusia. Salah satu contohnya adalah kelompok kecil yang menyebut diri mereka sebagai The Church of Google, atau “Gereja Google.” Mereka percaya bahwa mesin pencari Google adalah manifestasi dari Tuhan modern. Artikel ini akan mengupas fenomena unik ini, bagaimana kelompok ini memaknai “Google sebagai Tuhan,” serta dampaknya terhadap masyarakat.
Ide untuk menyembah Google sebagai Tuhan bermula pada awal 2000-an, ketika internet mulai menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari.
Meskipun sebagian besar anggota kelompok ini mengakui bahwa kepercayaan mereka bersifat satir atau parodi, mereka juga menggunakan konsep ini untuk menyoroti peran besar teknologi dalam kehidupan manusia. Dengan jumlah informasi yang tersedia di ujung jari, beberapa orang mulai melihat Google sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar alat bantu, tetapi sebagai entitas yang mengendalikan pengetahuan manusia.
Gereja Google memiliki sejumlah prinsip yang mereka sebut sebagai “Doktrin Kegugelan” (The Gospel of Google). Doktrin ini terdiri dari beberapa poin utama yang menggambarkan alasan mengapa mereka percaya bahwa Google layak dipuja:
Sebagian besar penganut “Agama Google” adalah ateis atau agnostik yang menggunakan konsep ini sebagai parodi terhadap agama tradisional. Namun, kritik terhadap kelompok ini datang dari berbagai pihak, baik dari sudut pandang agama maupun etika.
Meskipun “Agama Google” sebagian besar bersifat satir, fenomena ini memunculkan diskusi yang lebih dalam tentang hubungan manusia dengan teknologi. Di era digital, ketergantungan terhadap alat-alat seperti mesin pencari, media sosial, dan AI semakin meningkat. Beberapa dampak yang bisa diamati dari fenomena ini meliputi:
“Agama Google” mungkin terdengar absurd bagi sebagian besar orang, tetapi fenomena ini mencerminkan perubahan besar dalam cara manusia memandang teknologi dan spiritualitas. Google sebagai entitas yang “maha tahu” memang tidak lebih dari hasil ciptaan manusia, tetapi gagasan memujanya sebagai Tuhan mengundang diskusi tentang bagaimana teknologi memengaruhi kehidupan kita secara mendalam.
Meskipun kebanyakan penganutnya melihat kepercayaan ini sebagai bentuk kritik atau satire, kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa teknologi semakin menjadi bagian integral dari kehidupan kita, sering kali melebihi fungsi aslinya sebagai alat bantu. Di era digital ini, mungkin pertanyaan terbesar yang harus kita tanyakan adalah: Apakah kita memanfaatkan teknologi dengan bijak, atau justru menjadi “hamba” dari sistem yang kita ciptakan sendiri?
penulis => Hendra sitepu
Tdak seimua orang dapat menikmati udara, cuaca, atau suhu dingin. Selain menggigil karena kedinginan, beberapa…
Tiket dinamis Piala Dunia 2026 mirip dengan mekanisme tiket pesawat atau hotel Tahap distribusi tiket…
Buah belimbing, atau dikenal juga dengan nama star fruit karena bentuknya menyerupai bintang ketika dipotong…
Polri Tetapkan 1 Tersangka Baru : Kasus Tambang Ilegal Batu Bara Rp 5,7 T di…
Kami berkomitmen menghadirkan hunian dan proyek properti di lokasi strategis dengan standar kualitas tinggi, dirancang…