Restorative Justice, 8 Upaya Jaksa Hapus Stigma Hukum Tajam ke Bawah
Pendahuluan
Dalam masyarakat Indonesia, sering kali muncul keluhan bahwa hukum terasa “tajam ke bawah, tumpul ke atas.” Ungkapan ini menggambarkan kondisi di mana masyarakat kecil cenderung lebih mudah tersentuh jerat hukum, sementara mereka yang memiliki kekuasaan, uang, atau pengaruh justru kerap lolos dari jeratan yang sama. Fenomena ini bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga persoalan sosial yang menimbulkan krisis kepercayaan terhadap aparat penegak hukum, khususnya jaksa sebagai pihak yang mewakili negara dalam menuntut perkara pidana.
Untuk merespons tantangan tersebut, Kejaksaan Republik Indonesia kini mendorong penerapan Restorative Justice (RJ) atau keadilan restoratif. Konsep ini menekankan pada penyelesaian perkara pidana melalui mediasi antara pelaku, korban, dan masyarakat, sehingga tercapai perdamaian tanpa harus menempuh jalur pemidanaan yang panjang di pengadilan. Langkah ini dianggap sebagai salah satu strategi penting untuk menghapus stigma hukum yang diskriminatif, sekaligus mengedepankan rasa keadilan substantif ketimbang prosedural.
Artikel ini akan mengulas secara mendalam mengenai:
-
Apa itu restorative justice dan mengapa penting di Indonesia.
-
Stigma hukum yang selama ini melekat di mata masyarakat.
-
8 upaya strategis jaksa dalam menerapkan RJ demi menghapus stigma hukum tajam ke bawah.
-
Tantangan dan kritik terhadap penerapan RJ.
-
Harapan ke depan terhadap sistem peradilan pidana yang lebih humanis.
Dengan ulasan sepanjang ±3.000 kata, diharapkan pembaca bisa memahami mengapa restorative justice menjadi langkah penting dalam reformasi hukum Indonesia.
Bab I: Mengenal Restorative Justice
Restorative justice adalah konsep hukum yang menitikberatkan pada pemulihan hubungan sosial akibat tindak pidana, bukan semata-mata pada penghukuman pelaku. Prinsip dasarnya adalah keadilan tidak selalu tercapai melalui penjara, melainkan melalui dialog, mediasi, dan kesepakatan damai antara pelaku dengan korban.
Prinsip utama RJ:
-
Fokus pada korban, bukan hanya pelaku.
-
Mengembalikan kerugian atau luka yang dialami korban.
-
Memberikan kesempatan pelaku untuk bertanggung jawab secara langsung.
-
Mengurangi beban perkara di pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.
-
Menjaga harmoni sosial, khususnya di masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai kekeluargaan.
Penerapan RJ di Indonesia secara resmi mulai diperkuat dengan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Regulasi ini memberikan dasar hukum bagi jaksa untuk menghentikan perkara tertentu jika memenuhi syarat, seperti:
-
Ancaman pidana di bawah 5 tahun.
-
Kerugian tidak lebih dari jumlah tertentu.
-
Ada kesepakatan damai antara pelaku dan korban.
-
Perkara bukan merupakan pengulangan tindak pidana berat.
Bab II: Stigma Hukum “Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas”
Masyarakat Indonesia sejak lama menaruh kecurigaan terhadap lembaga hukum. Istilah “tajam ke bawah, tumpul ke atas” lahir dari realitas di mana banyak kasus besar yang melibatkan pejabat, konglomerat, atau elit politik berujung pada vonis ringan, bahkan bebas. Sementara itu, rakyat kecil yang melakukan pelanggaran ringan kerap mendapat hukuman berat.
Beberapa contoh yang memperkuat stigma ini:
-
Kasus pencurian kecil – banyak rakyat miskin dipenjara karena mencuri buah, sandal, atau barang sepele.
-
Kasus korupsi – beberapa pejabat mendapat vonis ringan meskipun merugikan negara miliaran rupiah.
-
Kasus diskriminasi hukum – masyarakat adat atau kelompok minoritas lebih rentan dipidana.
Stigma ini menimbulkan krisis kepercayaan publik. Banyak orang merasa hukum hanya berpihak kepada orang kaya dan berkuasa. Akibatnya, muncul ketidakpatuhan hukum, maraknya aksi main hakim sendiri, hingga rendahnya partisipasi masyarakat dalam melapor kasus ke aparat.
Bab III: 8 Upaya Jaksa Melalui Restorative Justice
Untuk menghapus stigma hukum tajam ke bawah, jaksa kini mengedepankan restorative justice dalam praktik sehari-hari. Ada 8 upaya strategis yang dilakukan:
1. Mendorong Penghentian Penuntutan Berdasarkan Perdamaian
Jaksa diberi kewenangan untuk menghentikan penuntutan apabila pelaku dan korban sudah berdamai. Misalnya kasus pencurian kecil, perkelahian ringan, atau tindak pidana yang melibatkan keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa hukum bisa lebih manusiawi dan tidak sekadar menghukum demi formalitas.
2. Membangun Rumah Restorative Justice di Desa/Kelurahan
Kejaksaan menginisiasi pendirian Rumah Restorative Justice sebagai tempat musyawarah penyelesaian perkara pidana. Tempat ini berfungsi sebagai ruang dialog yang menghadirkan pelaku, korban, tokoh masyarakat, dan jaksa. Dengan begitu, penyelesaian perkara dilakukan di tingkat lokal, dekat dengan akar persoalan.
3. Memberikan Ruang bagi Korban
Selama ini, dalam sistem pidana, korban sering terpinggirkan. Dengan RJ, korban dilibatkan dalam proses penyelesaian, suaranya didengar, dan kerugiannya dipulihkan. Misalnya pelaku mengganti kerugian, meminta maaf secara terbuka, atau memberikan kompensasi.
4. Menyaring Perkara agar Tidak Semua Masuk Pengadilan
Salah satu problem hukum di Indonesia adalah overkriminalisasi: semua hal dibawa ke pengadilan. Dengan RJ, perkara ringan bisa selesai tanpa menambah beban pengadilan maupun penjara. Ini penting untuk mengurangi overcrowding di lembaga pemasyarakatan.
5. Menghidupkan Nilai Kearifan Lokal
Banyak masyarakat Indonesia masih menjunjung tinggi budaya musyawarah. Melalui RJ, jaksa mengakomodasi nilai-nilai lokal, seperti tradisi adat perdamaian, gotong royong, dan kekeluargaan. Hal ini menjadikan hukum terasa lebih dekat dengan masyarakat, bukan sekadar aturan kaku.
6. Transparansi dalam Penerapan Restorative Justice
Kejaksaan berusaha membuka informasi penerapan RJ agar masyarakat bisa menilai keadilannya. Hal ini penting agar RJ tidak dianggap sebagai celah baru untuk kolusi, melainkan sebagai instrumen hukum yang sah, jelas, dan terukur.
7. Memberikan Perlindungan terhadap Pelaku Rentan
Banyak perkara melibatkan pelaku dari kelompok rentan, seperti anak-anak, lansia, atau masyarakat miskin. Dengan RJ, jaksa bisa memberikan perlakuan yang lebih bijak. Misalnya anak yang mencuri karena lapar tidak langsung dipenjara, tetapi diarahkan untuk mendapat rehabilitasi sosial.
8. Membangun Kepercayaan Publik
Pada akhirnya, RJ bukan hanya soal penyelesaian perkara, tetapi juga soal membangun kembali kepercayaan publik. Dengan memberi contoh bahwa hukum bisa adil bagi masyarakat kecil, stigma “tajam ke bawah” secara perlahan dapat dihapuskan. Kejaksaan pun lebih dihormati karena dianggap dekat dengan rakyat.
Bab IV: Tantangan dan Kritik
Meski restorative justice banyak diapresiasi, penerapannya tidak lepas dari kritik.
-
Potensi penyalahgunaan – ada kekhawatiran RJ dijadikan alat “damai-damaian” untuk meloloskan pelaku yang seharusnya dihukum.
-
Tidak semua kasus bisa diselesaikan dengan RJ – misalnya kejahatan berat seperti pembunuhan, narkotika, terorisme, atau korupsi.
-
Persepsi masyarakat – sebagian orang menganggap RJ tidak memberikan efek jera, sehingga pelaku bisa mengulangi perbuatannya.
-
Kurangnya pemahaman aparat – belum semua jaksa dan aparat memahami konsep RJ, sehingga implementasinya tidak seragam.
-
Kesenjangan wilayah – ada daerah yang sudah banyak menerapkan RJ, ada pula yang masih minim.
Bab V: Harapan Masa Depan
Restorative justice adalah inovasi penting dalam reformasi hukum Indonesia. Namun agar benar-benar efektif menghapus stigma hukum tajam ke bawah, perlu beberapa langkah tambahan:
-
Pendidikan hukum masyarakat, agar warga tahu hak dan kewajibannya.
-
Pengawasan ketat atas penerapan RJ, supaya tidak disalahgunakan.
-
Perluasan cakupan RJ, khususnya untuk kasus-kasus ringan yang banyak dialami masyarakat kecil.
-
Sinergi antar lembaga hukum, termasuk polisi, hakim, advokat, dan lembaga adat.
Jika diterapkan secara konsisten, restorative justice bisa menjadi simbol bahwa hukum di Indonesia tidak lagi sekadar menghukum, tetapi juga menyembuhkan luka sosial dan membangun keadilan sejati.
Kesimpulan
Restorative justice hadir sebagai jawaban atas keluhan masyarakat tentang hukum yang diskriminatif. Melalui 8 upaya jaksa – mulai dari penghentian penuntutan berbasis perdamaian, pembangunan rumah RJ, pelibatan korban, hingga transparansi publik – stigma hukum “tajam ke bawah, tumpul ke atas” perlahan bisa dikikis.
Namun, keberhasilan RJ bergantung pada komitmen semua pihak: aparat, masyarakat, hingga pembuat kebijakan. Hukum tidak boleh menjadi alat kekuasaan, melainkan sarana untuk menjaga keadilan, ketertiban, dan kemanusiaan.
Dengan konsistensi, RJ bisa menjadi tonggak penting menuju sistem hukum Indonesia yang lebih adil, humanis, dan dipercaya rakyat.
By : BomBom