Trending

Petrus: Sejarah Kelam Penembakan Misterius di Indonesia Era Orde Baru

Fenomena Petrus (Penembakan Misterius) merupakan salah satu bab gelap dalam sejarah Indonesia, khususnya pada masa pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Peristiwa ini terjadi terutama pada awal dekade 1980-an, di mana ratusan hingga ribuan orang yang dicap sebagai penjahat, preman, atau dianggap mengganggu stabilitas keamanan ditemukan tewas dengan luka tembak. Tubuh mereka sering dibuang di jalan, sungai, atau dibiarkan di ruang publik sebagai pesan menakutkan bagi masyarakat. Kejadian ini hingga kini masih menjadi kontroversi, karena banyak pihak menduga bahwa operasi tersebut merupakan kebijakan terselubung pemerintah dalam menekan angka kriminalitas, meski tidak pernah diakui secara resmi secara hukum.

Latar Belakang Munculnya PetrusINDOBET365

Pada awal 1980-an, Indonesia menghadapi peningkatan angka kriminalitas, terutama pencurian, perampokan, dan aksi premanisme. Kondisi ekonomi yang sulit, urbanisasi yang cepat, serta kesenjangan sosial menciptakan ruang bagi suburnya tindak kejahatan. Pemerintah Orde Baru, yang sangat menekankan stabilitas politik dan keamanan sebagai fondasi pembangunan, melihat kejahatan sebagai ancaman serius. Dalam narasi resmi kala itu, negara dianggap perlu mengambil langkah tegas agar masyarakat merasa aman dan mendukung pembangunan.

Namun, alih-alih mengandalkan penegakan hukum yang transparan, pemerintah diduga melancarkan operasi gelap yang menargetkan orang-orang dengan reputasi kriminal. Operasi inilah yang dikenal dengan istilah Petrus atau Penembakan Misterius, karena tidak ada proses hukum yang jelas dan para pelakunya tidak pernah diungkap.

Modus Operasi

Modus operasi Petrus sangat khas dan menciptakan trauma mendalam bagi masyarakat. Mereka yang menjadi target biasanya adalah orang dengan catatan kriminal atau bahkan hanya dicurigai sebagai preman. Para korban sering diculik secara diam-diam, lalu ditemukan keesokan harinya dalam keadaan tewas dengan luka tembak di kepala atau dada. Jenazah biasanya ditinggalkan di tempat umum seperti jalan raya, kebun, hingga pinggir sungai.

Selain itu, banyak laporan menyebutkan bahwa sebelum tewas, para korban kerap mendapat ancaman atau dipaksa “menghilang” dari suatu daerah. Bagi sebagian orang, mayat-mayat tersebut menjadi “peringatan hidup” agar tidak mencoba melawan sistem atau melakukan tindak kejahatan.

Tujuan dan Pesan Politik

Walau tidak pernah diakui resmi, banyak pengamat menilai bahwa Petrus memiliki dua tujuan utama:

  1. Menekan angka kriminalitas: dengan membunuh para penjahat kelas kakap atau preman, pemerintah ingin menciptakan efek jera. Pesan yang ditanamkan adalah bahwa kejahatan akan langsung berakhir dengan kematian tanpa proses hukum.

  2. Menciptakan ketakutan politik: Petrus tidak hanya ditujukan bagi para penjahat, tetapi juga berfungsi sebagai instrumen kontrol sosial. Rakyat menjadi takut, tidak hanya kepada preman, tetapi juga kepada negara. Hal ini memperkuat posisi Orde Baru sebagai rezim otoriter yang seolah-olah memiliki kekuasaan mutlak atas kehidupan dan kematian seseorang.

Jumlah Korban

Hingga kini, jumlah pasti korban Petrus masih menjadi perdebatan. Beberapa laporan menyebutkan angka mencapai ribuan jiwa, sementara catatan resmi pemerintah jauh lebih kecil. Banyak keluarga korban yang kehilangan anggota tanpa pernah mendapatkan penjelasan. Sebagian besar kasus tidak pernah diusut, dan nama para korban hilang begitu saja dari catatan sejarah formal.

Fakta bahwa banyak korban dibiarkan tanpa identitas dan tanpa kejelasan status hukum menunjukkan betapa gelapnya praktik ini. Bagi sebagian keluarga, Petrus bukan hanya kehilangan orang tercinta, tetapi juga luka batin yang sulit disembuhkan.

Pengakuan Soeharto

Meskipun pemerintah tidak pernah memberikan pernyataan resmi yang detail, Presiden Soeharto dalam otobiografinya “Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya” (ditulis bersama G. Dwipayana, 1989) sempat mengakui bahwa penembakan memang dilakukan untuk menanggulangi kejahatan. Ia menyebut bahwa tindakan keras diambil karena hukum formal dianggap tidak memadai dalam menghadapi maraknya kriminalitas kala itu. Pernyataan ini semakin menguatkan dugaan bahwa Petrus merupakan kebijakan terselubung negara.

Dampak Sosial dan Psikologis

Petrus meninggalkan dampak luas bagi masyarakat Indonesia. Beberapa dampak yang paling nyata antara lain:

  • Trauma kolektif: masyarakat hidup dalam ketakutan, baik dari ancaman preman maupun dari ancaman aparat yang bisa bertindak tanpa proses hukum.

  • Hilangnya kepercayaan pada hukum: karena banyak orang menyadari bahwa keadilan tidak dijalankan di pengadilan, melainkan melalui peluru.

  • Stigma sosial: keluarga korban sering kali mendapat stigma negatif karena dianggap memiliki anggota keluarga penjahat, meskipun banyak kasus di mana korban sebenarnya hanyalah orang biasa atau hanya dicurigai tanpa bukti kuat.

  • Budaya diam: banyak masyarakat memilih tidak berbicara, tidak melapor, dan tidak mempertanyakan, karena takut menjadi korban berikutnya.

Kritik dan Kontroversi

Sejumlah aktivis HAM, intelektual, dan organisasi masyarakat sipil sejak lama mengecam praktik Petrus. Mereka menilai bahwa tindakan ini melanggar hak asasi manusia, karena orang-orang dieksekusi tanpa proses pengadilan yang adil.

Namun, kritik-kritik tersebut pada masanya sulit berkembang karena kontrol ketat Orde Baru terhadap kebebasan pers dan politik. Baru setelah reformasi 1998, isu Petrus mulai kembali diperbincangkan secara terbuka. Meski demikian, hingga kini tidak pernah ada pengadilan khusus yang mengadili peristiwa ini.

Petrus dalam Perspektif Hukum dan HAM

Dalam kacamata hukum modern, Petrus jelas melanggar prinsip negara hukum. Konstitusi Indonesia menjamin bahwa setiap orang berhak atas pengadilan yang adil. Penembakan tanpa proses hukum sama dengan pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killing), yang dikategorikan sebagai pelanggaran berat HAM.

Namun, fakta bahwa hingga saat ini tidak ada upaya serius mengusut Petrus menunjukkan masih adanya impunitas dalam sistem hukum Indonesia. Banyak korban dan keluarganya masih menuntut keadilan, tetapi tuntutan itu sering kali terbentur dinding birokrasi dan politik.

Peninggalan Petrus dalam Sejarah

Petrus bukan sekadar kisah masa lalu, melainkan juga cermin betapa rapuhnya perlindungan hukum di masa otoritarian. Kisah ini mengingatkan bangsa Indonesia bahwa keamanan tidak boleh dibangun dengan mengorbankan keadilan dan hak asasi.

Generasi muda perlu mengenal Petrus agar tidak lagi terjebak dalam narasi tunggal rezim Orde Baru yang kerap menutupi sisi kelamnya. Mengingat Petrus berarti juga menjaga memori kolektif bangsa agar tragedi serupa tidak terulang.


Penutup

Fenomena Petrus mencatatkan bahwa negara pernah menggunakan kekerasan secara tersembunyi demi mencapai stabilitas. Di balik narasi keamanan, terdapat ribuan nyawa yang hilang tanpa kejelasan. Tragedi ini mengajarkan pentingnya supremasi hukum, penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan perlunya transparansi dalam setiap kebijakan negara.

Sejarah kelam Petrus akan selalu menjadi pengingat bahwa ketertiban tidak boleh ditegakkan dengan cara yang meniadakan kemanusiaan. Hanya dengan membuka kebenaran dan memberikan keadilan bagi korban serta keluarganya, bangsa Indonesia dapat benar-benar berdamai dengan masa lalunya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *