Air Susu Ibu (ASI) merupakan sumber nutrisi terbaik bagi bayi, terutama pada enam bulan pertama kehidupannya. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan menegaskan bahwa pemberian ASI eksklusif dapat menyelamatkan jutaan nyawa bayi setiap tahun karena kandungan gizi, antibodi, dan zat pelindungnya tidak dapat tergantikan oleh susu formula. Namun, menariknya, tingkat pemberian ASI tidak merata di berbagai wilayah.
Sejumlah penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa ibu yang tinggal di desa memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk memberikan ASI kepada bayinya dibandingkan dengan ibu yang tinggal di perkotaan. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: apa yang membuat praktik menyusui di pedesaan lebih kuat bertahan dibanding di kota?
Berikut adalah lima fakta penting yang menjelaskan mengapa pemberian ASI di desa lebih tinggi daripada di kota.
Di banyak desa di Indonesia, menyusui masih dianggap sebagai kewajiban alami seorang ibu yang tidak bisa digantikan oleh produk lain. Tradisi turun-temurun memainkan peran besar dalam membentuk perilaku ini.
Keterikatan dengan nilai keluarga
Ibu di desa biasanya dikelilingi oleh keluarga besar, termasuk orang tua dan mertua, yang memberikan dorongan kuat agar bayi disusui secara langsung. Dukungan ini berbeda dengan di kota, di mana ibu sering kali harus menghadapi tekanan gaya hidup modern yang membuat pemberian ASI terasa kurang praktis.
Kepercayaan terhadap manfaat alami
Banyak masyarakat desa memercayai bahwa ASI bukan sekadar makanan, melainkan juga bagian dari kasih sayang ibu. Bahkan ada anggapan bahwa anak yang minum ASI akan lebih sehat, kuat, dan tidak mudah sakit.
Minim pengaruh iklan susu formula
Di kota, promosi susu formula sangat gencar. Ibu perkotaan lebih sering terpapar iklan televisi, billboard, atau media digital yang menampilkan susu formula sebagai alternatif modern. Sementara di desa, paparan ini cenderung lebih kecil sehingga ibu tetap memilih ASI sebagai pilihan utama.
Tradisi dan kultur pedesaan ini menjadi benteng kuat yang membuat praktik menyusui tetap bertahan meski arus modernisasi semakin kencang.
Salah satu alasan kuat mengapa ibu desa lebih banyak memberikan ASI adalah faktor ekonomi dan akses.
Harga susu formula relatif mahal
Bagi banyak keluarga di pedesaan, membeli susu formula bukanlah pilihan mudah. Harga yang tinggi membuat banyak orang tua akhirnya lebih memilih memberikan ASI, yang selain alami juga tidak memerlukan biaya tambahan.
Ketersediaan terbatas
Di beberapa desa terpencil, toko yang menjual susu formula jumlahnya terbatas. Hal ini membuat ASI menjadi solusi yang paling mudah diakses oleh ibu.
Kesadaran hemat dan alami
Banyak ibu desa sadar bahwa ASI adalah “rezeki alami” yang diberikan Tuhan, sehingga tidak perlu mengeluarkan uang untuk menggantinya dengan susu formula. Pandangan ini memperkuat pilihan mereka untuk tetap menyusui.
Sebaliknya, di kota, akses terhadap susu formula sangat mudah. Minimarket, supermarket, bahkan layanan pesan antar online siap sedia dalam hitungan menit. Kemudahan inilah yang terkadang membuat ibu kota lebih cepat beralih dari ASI ke susu formula, terutama ketika menghadapi hambatan menyusui.
Perbedaan gaya hidup antara desa dan kota juga berperan besar dalam praktik menyusui.
Ibu kota lebih banyak bekerja di luar rumah
Di perkotaan, jumlah ibu bekerja jauh lebih tinggi. Keterbatasan cuti melahirkan dan tekanan pekerjaan membuat banyak ibu kesulitan memberikan ASI eksklusif selama enam bulan. Meski ada solusi berupa pompa ASI, proses ini tidak selalu berjalan lancar karena keterbatasan fasilitas penyimpanan di kantor.
Mobilitas tinggi
Kehidupan kota identik dengan kesibukan, transportasi padat, serta tuntutan gaya hidup yang serba cepat. Kondisi ini membuat sebagian ibu menganggap menyusui sebagai aktivitas yang kurang praktis dibanding memberi susu formula yang tinggal diseduh.
Tekanan sosial dan gaya hidup modern
Di beberapa kalangan, ada anggapan bahwa memberikan susu formula adalah simbol status sosial atau modernitas. Hal ini mendorong sebagian ibu kota untuk lebih cepat beralih, meskipun WHO dan pemerintah gencar mengampanyekan pentingnya ASI.
Di desa, mayoritas ibu lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dan memiliki kesempatan lebih luas untuk menyusui bayinya secara langsung. Faktor lingkungan dan gaya hidup yang lebih sederhana membuat pemberian ASI menjadi lebih konsisten.
Salah satu faktor yang sering diabaikan adalah peran komunitas.
Lingkungan sosial yang saling mendukung
Di desa, hubungan antarwarga lebih dekat dan penuh solidaritas. Ketika seorang ibu melahirkan, tetangga, saudara, dan bidan desa biasanya ikut mendukung praktik menyusui. Bahkan, ada kelompok ibu-ibu PKK atau posyandu yang secara rutin mengingatkan pentingnya ASI.
Peran bidan desa
Bidan desa merupakan garda terdepan dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak di pedesaan. Mereka biasanya aktif mengedukasi tentang pentingnya ASI, memberikan bimbingan teknis, serta mendampingi ibu yang mengalami kesulitan menyusui.
Minim tekanan konsumtif
Karena lingkungan sosial lebih sederhana, ibu di desa tidak banyak mendapatkan tekanan untuk “menyesuaikan diri” dengan tren modern seperti memberikan susu formula. Sebaliknya, tekanan sosial justru mendorong mereka untuk menyusui, karena jika tidak menyusui bisa dianggap aneh oleh lingkungannya.
Sementara itu, di kota, dukungan komunitas relatif lebih lemah karena gaya hidup individualis. Ibu perkotaan sering kali menghadapi tantangan sendirian dalam menyusui, sehingga ketika menemui kesulitan mereka lebih cepat menyerah dan beralih ke susu formula.
Fenomena ini bukan sekadar asumsi, tetapi juga didukung oleh data resmi.
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)
Data SDKI beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa angka pemberian ASI eksklusif lebih tinggi di pedesaan dibanding perkotaan. Misalnya, pada laporan 2017, proporsi pemberian ASI eksklusif di desa mencapai sekitar 41%, sementara di kota hanya 32%.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
Hasil Riskesdas juga menunjukkan tren serupa. Faktor ekonomi, pendidikan, dan akses layanan kesehatan sangat berpengaruh. Menariknya, meskipun tingkat pendidikan ibu di kota lebih tinggi, hal itu tidak selalu berbanding lurus dengan keberhasilan menyusui.
Analisis WHO dan UNICEF
Secara global, negara-negara berkembang juga menghadapi pola yang sama: masyarakat pedesaan lebih konsisten memberikan ASI dibanding perkotaan. Namun, tantangan gizi buruk masih menghantui ketika pemberian ASI tidak dilanjutkan dengan makanan pendamping yang bergizi.
Data-data ini menegaskan bahwa ada kesenjangan nyata antara praktik menyusui di desa dan kota.
Dari lima fakta di atas, jelas terlihat bahwa ibu di desa lebih konsisten memberikan ASI dibanding ibu di kota. Faktor tradisi, keterbatasan akses susu formula, gaya hidup sederhana, dukungan komunitas, serta data survei menjadi bukti kuat.
Namun, bukan berarti ibu kota tidak bisa menyusui dengan baik. Pemerintah dan berbagai pihak perlu menciptakan kebijakan yang lebih ramah ibu bekerja, menyediakan fasilitas laktasi di kantor, memperpanjang cuti melahirkan, serta memperkuat edukasi agar ASI tetap menjadi pilihan utama.
Pada akhirnya, ASI bukan hanya soal makanan, tetapi juga simbol kasih sayang, ikatan emosional, serta investasi kesehatan jangka panjang bagi anak. Baik di desa maupun kota, pemberian ASI harus tetap menjadi prioritas agar generasi mendatang tumbuh sehat dan kuat.
By : BomBom
Fenomena Parkir Ilegal di Bogor yang Menghebohkan Kota Bogor baru-baru ini digemparkan oleh viralnya aksi…
GERD (Gastroesophageal Reflux Disease) atau penyakit refluks gastroesofagus adalah kondisi medis kronis yang terjadi ketika…
Piala Dunia 2026 tidak hanya menjadi ajang olahraga, tetapi juga ikut terseret ke dalam isu politik…
Di balik tanah yang basah dan berlapis lumut, di lorong-lorong gelap yang tak pernah disentuh…
Kolagen atau protein struktural adalah protein utama dalam tubuh manusia yang berfungsi sebagai perekat alami…
Pendahuluan Fenomena perjudian online (judol) kian marak di berbagai wilayah Indonesia, termasuk Jakarta Barat (Jakbar).…