Masuk Prioritas 2025, RUU Perampasan Aset Jadi Usul Inisiatif DPR

Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset diusulkan masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. RUU Perampasan Aset menjadi satu dari tiga RUU yang menjadi usul inisiatif DPR masuk ke Prolegnas Prioritas 2025. Dua RUU lain yang diusulkan DPR adalah RUU Kamar Dagang dan Industri dan RUU Kawasan Industri. “Pemerintah setuju dengan usul inisiatif DPR terkait tiga RUU yang tadi disampaikan untuk masuk dalam evaluasi Prolegnas 2025. Jadi, khususnya RUU tentang Perampasan Aset, kami sampaikan terima kasih karena pemerintah sebenarnya juga sudah siap,” ujar Menteri Hukum Supratman Andi Agtas dalam rapat kerja evaluasi Prolegnas Prioritas 2025, Selasa (9/9/2025).
Pemerintah, kata Supratman, mengapresiasi DPR yang menjadikan RUU Perampasan Aset sebagai usul inisiatif mereka.
Supratman menjelaskan, pemerintah akan membantu DPR dalam penyusunan naskah akademik dan draf RUU Perampasan Aset. “Kita harus memberikan apresiasi yang luar biasa kepada DPR karena telah memenuhi janji untuk mengambil alih penyusunan draf RUU tentang Perampasan Aset,” ujar Supratman.
Klaim Rampung 2025
Usai rapat tersebut, Ketua Baleg Bob Hasan mengungkap bahwa RUU Perampasan Aset ditargetkan rampung pada 2025. “Targetnya tahun ini semuanya harus dibereskan,” ujar Bob. Meski demikian, pembahasan RUU Perampasan Aset tetap harus dilakukan dengan melibatkan publik secara bermakna atau meaningful participation. Dalam hal ini, ia mengartikan publik mengetahui isi RUU Perampasan Aset, bukan hanya judul RUU tersebut.
“Harus tahu seluruh publik apa isinya perampasan aset itu. Itu kalau secara makna,” ujar Bob. Dalam pembahasannya, DPR akan menjelaskan substansi RUU Perampasan Aset, termasuk apakah pelanggaran terkait merupakan pidana pokok atau pidana asal. “Ada pidana pokok, ada jenisnya macam-macam. Perampasan aset ini pidana apa perdata? Kan begitu,” ujar Bob. “Nah, di situ nanti di-meaningful-kan, kita akan sajikan di depan, di YouTube. Terbuka, secara terbuka,” lanjut politikus Partai Gerindra tersebut.
Diusulkan sejak 2012
Sebagai informasi, pemerintah sudah mengusulkan RUU Perampasan Aset ini ke DPR sejak 2012. Usulan itu dilakukan setelah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melakukan kajian sejak 2008.
Hingga akhirnya pada 4 Mei 2023, pemerintah mengirim surat presiden (surpres) terkait RUU Perampasan Aset Terkait Tindak Pidana ke DPR. Namun, hingga rapat paripurna terakhir DPR periode 2019-2024 pada 30 September 2024, pembahasan RUU Perampasan Aset itu belum pernah dilakukan.
RUU Perampasan Aset, Harapan atau Bumerang?
“PECUNIA non olet”, demikian postulat yang artinya uang itu tidak ada baunya (the money doesn’t smell”). Postulat itu berasal dari perkataan Kaisar Romawi Vespansianus saat menanggapi kritik dari anaknya atas pengenaan pajak urine di toilet-toilet umum Romawi pada masa itu. Vespansianus menunjukkan koin hasil pungutan pajak itu kepada anaknya sambil mengatakan bahwa sekalipun uang itu berasal dari pungutan pajak urine, uang itu tidak bau. Kemudian ungkapan tersebut terkenal dan sering dikaitkan dengan uang-uang hasil kejahatan yang tidak menebarkan bau kejahatan, karena selalu disimpan dan disembunyikan. Salah satu dari 17 tuntutan yang terangkum dalam ”17+8, Tuntutan Rakyat” adalah “sahkan dan tegakkan UU perampasan aset koruptor”. Tuntutan ini tentu tidak keliru, tapi tidak sepenuhnya tepat, karena RUU Perampasan Aset bukan hanya dimaksudkan untuk tindak pidana korupsi saja, melainkan untuk merespons tindak pidana bermotif ekonomi (economic crimes) yang umumnya bersifat transnational organized crime.
Dalam economic crimes, penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan memang bukan lagi merupakan primadona. Pasalnya, memutus rantai aset sebagai “aliran darah” untuk kejahatan, dianggap sebagai langkah yang lebih efektif, baik terhadap aset yang berbentuk benda bergerak, benda tidak bergerak, berwujud, tidak berwujud sepanjang mempunyai nilai ekonomis. Paling tidak, anggapan ini menjadi hipotesis realita dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, di mana substitusi dari pembayaran uang pengganti dengan penjara yang tidak melebihi ancaman hukuman maksimal pidana pokoknya dapat dituding sebagai “peluang” bagi koruptor untuk memilih opsi tersebut ketimbang harus membayarnya.
Pergeseran paradigma pemidanaan Cuplikan pandangan dari Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di media sosial yang menyatakan bahwa akar masalah di Indonesia adalah korupsi sehingga Presiden bisa menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Perampasan Aset atau menerbitkan Peraturan Pemerintah dari UU No 7/2006 tentang Pengesahan Konvensi PBB Menentang Korupsi (UNCAC, 2003) nyatanya tidak semudah itu untuk diwujudkan. Berdasarkan konstitusi, meskipun Perppu bisa serta-merta berlaku ketika ditetapkan oleh presiden,
tapi suatu Perppu haruslah mendapatkan persetujuan DPR dalam masa sidang berikutnya. Sedangkan untuk usulan PP dari UU No 7/2006 secara hukum bukan merupakan self executing treaty, sehingga karena materi muatanya adalah hukum acara yang erat dengan hak asasi manuia, maka pelaksanaannya harus dengan peraturan setingkat UU. Namun, persoalan sebenarnya juga bukan terletak pada formalitas pengaturannya di Perppu, UU, atau di PP, melainkan pada pergeseran dari paradigma pemidanaan.
Saat ini, paradigma lama yang masih digunakan adalah “in personam”, yang fokusnya adalah pembalasan terhadap pelaku tindak pidana. Misalnya, korupsi dengan “hukuman” pidana yang seberat-beratnya, bahkan kalau perlu sampai pidana mati (Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor).
Sedangkan dalam RUU Perampasan Aset, paradigma barunya adalah “in rem”, yang fokusnya pada pemulihan asset (upon the thing), yaitu melalui rezim penyitaan dan perampasan aset tindak pidana dengan permohonan kuasi perdata (Civil Forfeiture).