Pernahkah kamu berniat hanya makan “satu keping” keripik kentang, tapi ujung-ujungnya hampir menghabiskan satu bungkus besar? Atau merasa tidak puas kalau belum ngemil biskuit manis, meskipun sudah kenyang? Jika iya, kamu tidak sendirian. Fenomena ini disebut food craving — keinginan kuat yang hampir tak bisa dikendalikan terhadap makanan tertentu, terutama yang termasuk kategori ultra processed food (UPF) atau makanan ultra-proses.
Makanan ringan seperti keripik, snack keju, biskuit, permen, minuman manis, dan makanan cepat saji memang didesain bukan hanya untuk memanjakan lidah, tapi juga untuk membuatmu ketagihan. Industri makanan global secara sadar menciptakan formula yang memicu sistem kesenangan di otak agar konsumen terus ingin makan, meski tubuh sebenarnya tidak lapar.
Dalam artikel ini, kita akan mengupas secara mendalam — mulai dari komposisi kimia makanan ultra-proses, cara otak bereaksi terhadap rasa gurih, manis, dan lemak, strategi pemasaran industri makanan, hingga efek jangka panjang terhadap kesehatan dan perilaku makan manusia.
Istilah ultra processed food mengacu pada makanan yang telah melalui banyak tahapan pengolahan industri dan mengandung bahan-bahan tambahan yang jarang digunakan dalam masakan rumahan. Konsep ini berasal dari sistem klasifikasi NOVA yang dikembangkan oleh para peneliti dari Universitas São Paulo, Brasil.
Menurut NOVA, makanan dikategorikan menjadi empat tingkat:
Makanan alami atau minim proses – seperti buah, sayur, daging segar, telur, nasi, dan biji-bijian.
Bahan yang diproses untuk memasak – seperti minyak, gula, garam.
Makanan olahan – seperti roti, keju, atau ikan asin.
Makanan ultra-proses – hasil pabrik yang mencampur bahan-bahan buatan seperti perasa, pewarna, pengawet, pemanis buatan, dan lemak trans.
Contoh nyata UPF termasuk:
Keripik kentang dalam kemasan
Mi instan
Biskuit isi krim
Cokelat batang
Minuman soda dan teh botol
Nugget ayam, sosis, atau burger beku
Sereal sarapan dengan tambahan gula
Ciri utama makanan ultra-proses adalah rasa, aroma, dan teksturnya dibuat sedemikian rupa agar lebih menarik dan “lebih lezat” daripada versi alami. Namun di balik kelezatan itu, ada manipulasi ilmiah yang canggih terhadap otak manusia.
Makanan ultra-proses dirancang dengan formula tertentu yang disebut bliss point — titik puncak kenikmatan rasa. Istilah ini dipopulerkan oleh Howard Moskowitz, seorang ilmuwan makanan yang bekerja untuk industri besar seperti PepsiCo dan Campbell Soup.
Bliss point adalah kombinasi optimal antara gula, garam, dan lemak yang paling memuaskan bagi otak manusia. Ketika proporsinya pas, otak melepaskan hormon dopamin dalam jumlah besar — hormon yang sama dilepaskan saat seseorang jatuh cinta atau bahkan menggunakan narkoba.
Gula memberi energi instan dan memicu respons cepat di sistem dopamin.
Lemak memberi sensasi lembut dan kaya di mulut, memperpanjang kenikmatan.
Garam menyeimbangkan rasa dan menstimulasi reseptor di lidah agar lebih aktif.
Kombinasi ketiganya menciptakan efek hyperpalatable — rasa yang terlalu enak sehingga mengalahkan makanan alami seperti buah atau sayuran.
Kamu mungkin tak sadar, tapi suara kriuk keripik juga bikin nagih. Studi dari Universitas Oxford menunjukkan bahwa suara renyah yang keras dan “crunchy” meningkatkan persepsi kesegaran dan kepuasan makan. Itulah sebabnya perusahaan makanan mengatur tingkat kelembapan dan ketebalan produk untuk menghasilkan suara gigit yang sempurna.
Selain itu, tekstur seperti lembutnya krim cokelat atau renyahnya wafer dibuat untuk menciptakan sensory contrast — perpaduan antara lembut dan renyah, hangat dan dingin, atau asin dan manis — yang sangat disukai otak.
Otak manusia berevolusi untuk mencari makanan tinggi energi karena di masa lalu, kelangkaan makanan sering terjadi. Maka, setiap kali kita makan makanan tinggi kalori, sistem dopamin memberi sinyal “reward” — membuat kita merasa bahagia dan ingin mengulanginya.
Namun pada era modern, ketika makanan ultra-proses mudah ditemukan, sistem alami ini disalahgunakan. Produk-produk UPF memicu lonjakan dopamin yang jauh lebih tinggi dibanding makanan alami, mirip dengan efek adiktif narkoba ringan.
Lama-kelamaan, otak menjadi “kebal” terhadap kadar dopamin normal. Akibatnya, seseorang perlu makan lebih banyak untuk mendapatkan sensasi yang sama — inilah awal mula perilaku makan berlebihan (binge eating).
Penelitian dari National Institute on Drug Abuse menunjukkan bahwa reaksi otak terhadap makanan tinggi gula dan lemak mirip dengan reaksi terhadap kokain. Area otak yang sama — nucleus accumbens — aktif pada kedua kasus tersebut.
Artinya, makanan ultra-proses meng-hijack sistem motivasi otak, membuat seseorang kehilangan kendali rasional dan terus menginginkannya meskipun sadar akan dampak buruknya.
Perusahaan makanan raksasa memiliki tim ilmuwan, psikolog, dan ahli kimia rasa yang secara khusus meneliti bagaimana membuat produk paling “menggoda.” Mereka melakukan ratusan uji coba untuk menemukan rasa, aroma, dan tekstur paling optimal.
Misalnya:
Keripik kentang diuji dalam ribuan versi kadar garam, ketebalan, dan waktu penggorengan.
Cokelat diuji untuk menemukan titik leleh di mulut sekitar 37°C agar meleleh sempurna saat dimakan.
Minuman bersoda dikembangkan agar karbonasinya memberi sensasi “gatal” ringan di lidah yang menambah kepuasan.
Selain formula rasa, iklan dan kemasan juga berperan besar. Warna-warna cerah seperti merah dan kuning terbukti meningkatkan rasa lapar dan kegembiraan. Slogan seperti “Buka aja dulu”, “Nggak cukup satu”, atau “Sekali coba, pasti suka” secara psikologis menanamkan ide bahwa wajar untuk makan terus-menerus.
Tak hanya itu, perusahaan memanfaatkan momen sosial — seperti menonton film, nongkrong, atau bermain gim — untuk mengaitkan konsumsi snack dengan kebahagiaan dan pertemanan.
Banyak penelitian menunjukkan hubungan kuat antara konsumsi UPF dan berbagai penyakit kronis, seperti:
Obesitas: Kandungan kalori tinggi, rendah serat, dan sangat mudah dikonsumsi membuat tubuh kelebihan energi tanpa sadar.
Diabetes tipe 2: Lonjakan gula darah berulang akibat makanan manis bisa menurunkan sensitivitas insulin.
Penyakit jantung: Lemak trans, natrium tinggi, dan kadar kolesterol jahat (LDL) meningkat akibat konsumsi rutin.
Gangguan pencernaan: Minimnya serat menyebabkan sembelit, disbiosis usus, dan gangguan metabolisme.
Menurut studi yang diterbitkan di BMJ tahun 2023, konsumsi makanan ultra-proses berlebihan dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian dini sebesar 30%.
Efeknya tidak hanya fisik, tapi juga psikologis. UPF terbukti menurunkan suasana hati jangka panjang dan meningkatkan risiko depresi. Alasannya, lonjakan dan penurunan cepat gula darah bisa memengaruhi kestabilan emosi.
Selain itu, efek dopamin yang berlebihan membuat sistem penghargaan otak “lelah” sehingga sulit menikmati aktivitas sederhana lain seperti membaca, berjalan, atau berinteraksi sosial tanpa makanan.
Makanan ringan kini telah menjadi bagian dari budaya populer. Dari camilan anak sekolah hingga teman kerja lembur, semuanya mengandung elemen UPF. Hal ini memperkuat normalisasi bahwa “ngemil itu wajib,” tanpa disadari kita sedang membangun kebiasaan adiktif massal.
Tubuh manusia tidak dirancang untuk menghadapi makanan yang sangat kaya energi dan mudah dikonsumsi. Sistem pengatur lapar dan kenyang di otak — leptin dan ghrelin — bekerja baik hanya pada makanan alami.
Ketika makan UPF:
Gula cepat masuk ke darah → insulin melonjak → sinyal kenyang datang terlambat.
Lemak tinggi memperlambat pencernaan, membuat rasa “nikmat” bertahan lama.
Rasa kuat menipu otak bahwa makanan itu sangat bergizi, padahal tidak.
Akhirnya, tubuh tidak tahu kapan harus berhenti makan. Inilah alasan utama kenapa kamu bisa makan camilan tanpa sadar sampai habis.
Peneliti dari National Institutes of Health (NIH) melakukan studi di mana dua kelompok diberi makanan dengan jumlah kalori dan nutrisi yang sama — satu kelompok makan makanan alami, satu lagi makan UPF.
Hasilnya:
Kelompok UPF makan 500 kalori lebih banyak per hari tanpa sadar.
Dalam dua minggu, berat badan mereka naik rata-rata 1 kilogram, sedangkan kelompok makanan alami justru turun berat badan.
Menariknya, mereka mengaku lebih lapar dan kurang puas meskipun kalori sama. Ini menunjukkan bahwa struktur makanan dan cara tubuh merespons rasa jauh lebih penting daripada angka kalori semata.
Anak-anak menjadi target utama industri makanan ringan. Iklan di TV, YouTube, dan media sosial dipenuhi warna cerah dan karakter lucu yang memancing rasa ingin coba.
Kebiasaan ini membentuk pola preferensi rasa sejak dini — anak-anak cenderung menolak sayur atau buah karena rasa makanan alami dianggap “kurang kuat.”
Berita baiknya, ketagihan terhadap UPF bisa dikendalikan — asalkan disertai kesadaran dan strategi bertahap.
Langkah pertama adalah menyadari seberapa sering kamu mengonsumsi makanan ultra-proses. Coba catat selama seminggu — camilan, minuman manis, mi instan, biskuit, dan sebagainya. Kebanyakan orang terkejut saat melihat seberapa sering mereka mengandalkan makanan pabrikan.
Mulailah mengganti dengan pilihan alami:
Keripik buah atau sayur panggang tanpa tambahan gula/garam.
Popcorn homemade tanpa mentega berlebihan.
Roti gandum dengan selai kacang alami.
Infused water atau teh tanpa gula sebagai pengganti soda.
Dibutuhkan waktu sekitar 2–3 minggu bagi lidah untuk menyesuaikan diri dengan rasa yang lebih ringan. Setelah itu, kamu akan mulai merasa bahwa makanan pabrikan terlalu asin atau manis.
Hindari menyimpan makanan ringan di tempat mudah terlihat. Batasi waktu menonton iklan atau konten yang mempromosikan junk food. Otak cenderung makan bukan karena lapar, tapi karena terpicu visual.
Perbanyak makanan utuh: sayur, buah, protein tanpa lemak, dan biji-bijian. Kombinasikan dengan cukup tidur dan aktivitas fisik. Keseimbangan hormon dopamin dan serotonin alami akan membantu mengurangi craving berlebih.
Data dari World Health Organization (WHO) menunjukkan peningkatan konsumsi makanan ultra-proses hingga lebih dari 40% dalam dua dekade terakhir. Negara berkembang seperti Indonesia juga mulai mengikuti tren tersebut karena urbanisasi dan gaya hidup cepat saji.
Meski terlihat remeh, konsumsi UPF berlebihan kini menjadi penyebab utama epidemi obesitas dan sindrom metabolik di seluruh dunia. Beban ekonomi akibat penyakit terkait pola makan bahkan diperkirakan mencapai triliunan dolar per tahun secara global.
Beberapa perusahaan mulai mencoba reformulasi — mengurangi gula, garam, dan lemak. Namun, tanpa perubahan paradigma konsumsi, hasilnya tidak signifikan.
Solusi jangka panjang memerlukan:
Regulasi iklan makanan anak.
Label transparan tentang tingkat pemrosesan.
Edukasi publik tentang pola makan alami.
Negara seperti Chile dan Meksiko telah berhasil menurunkan konsumsi soda melalui label peringatan “tinggi gula”. Langkah serupa bisa diterapkan di negara lain.
Makanan ringan ultra-proses memang menggoda — rasanya pas, praktis, dan selalu bikin ingin lagi. Tapi di balik sensasi itu, ada rekayasa rasa yang dirancang untuk membuat otak kecanduan.
Ketika dopamin menguasai sistem penghargaan, keputusan rasional kalah oleh dorongan instingtif. Kita makan bukan karena lapar, tapi karena “rasa ingin” yang ditanamkan industri.
Menyadari hal ini bukan berarti harus berhenti total, tapi mulai lebih bijak memilih dan membatasi. Nikmati makanan dengan kesadaran penuh (mindful eating), bukan dengan autopilot.
Ingat, tubuh kita adalah hasil dari apa yang kita makan — dan pikiran kita pun dibentuk dari kebiasaan makan yang kita pilih setiap hari.
By : BomBom
Di balik kelembutan rasa dan aroma khasnya, kopi latte menyimpan berbagai manfaat bagi kesehatan tubuh…
Bantargebang Jakarta ubah gunungan sampah jadi listrik bersih lewat proyek PLTSa, simbol langkah bersejarah menuju…
Pendahuluan: Era Baru Material Canggih Dalam beberapa dekade terakhir, dunia industri mengalami transformasi besar berkat…
Kurang tidur bukan sekadar bikin lelah. Tanpa disadari, jam tidur yang buruk bisa merusak otak,…