Los Angeles kembali menjadi sorotan dunia, bukan karena budaya pop atau industri hiburannya, melainkan karena sebuah insiden yang mengguncang dunia pers dan kebebasan sipil. Seorang jurnalis Australia, Lauren Tomasi, terkena tembakan peluru karet oleh polisi saat meliput demonstrasi anti-rasisme yang berujung ricuh di pusat kota LA. Kejadian ini langsung menjadi viral dan menuai kecaman dari komunitas internasional, serta memunculkan pertanyaan besar: Apakah jurnalis masih aman menjalankan tugasnya di tengah konflik sosial?
Pada 6 Oktober 2025, protes damai yang awalnya bertujuan mengkritik tindakan kekerasan aparat berubah menjadi kerusuhan terbuka setelah terjadi bentrokan antara demonstran dan polisi. Lauren Tomasi, reporter senior dari 9News Australia, sedang melakukan siaran langsung ketika satu peluru karet menghantam betis kirinya.
Yang memperparah situasi adalah fakta bahwa Lauren mengenakan rompi pers bertuliskan “MEDIA” dan memegang mikrofon dengan logo stasiun TV-nya, sebuah tanda yang seharusnya memberikan perlindungan. Dalam video yang beredar luas di media sosial, terlihat ia tersungkur kesakitan namun tetap mencoba memberi laporan sebelum akhirnya ditarik ke tempat aman oleh sesama jurnalis.
Lauren Tomasi adalah jurnalis Australia berpengalaman yang telah meliput berbagai peristiwa penting di dunia, dari kebakaran hutan di New South Wales hingga konflik di Ukraina. Ia dikenal karena keberanian dan integritasnya dalam melaporkan fakta secara langsung, bahkan dari zona-zona yang dianggap rawan.
Insiden ini menambah daftar panjang risiko yang dihadapi jurnalis, terlebih yang melakukan peliputan lapangan di wilayah konflik atau di tengah unjuk rasa besar.
Insiden tersebut mendapat tanggapan cepat dari berbagai pihak:
Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese, menyebut tindakan itu “tidak dapat diterima dan harus diselidiki secara transparan.”
Duta Besar Australia untuk Amerika Serikat langsung meminta klarifikasi resmi dari otoritas Los Angeles.
Aliansi Jurnalis Internasional (IFJ) mengecam insiden ini sebagai pelanggaran terhadap kebebasan pers dan menuntut perlindungan maksimal bagi wartawan di lapangan.
Warganet Australia menyuarakan solidaritas melalui tagar #JusticeForLauren yang menjadi trending topic di X (Twitter) dan Instagram.
Pihak kepolisian Los Angeles dalam konferensi pers menyatakan bahwa mereka sedang “melakukan penyelidikan internal”. Juru bicara LAPD menyebutkan bahwa “insiden bisa jadi merupakan kesalahan tak disengaja dalam kondisi penuh tekanan,” namun menolak memberikan komentar lebih jauh hingga investigasi selesai.
Sayangnya, pernyataan ini justru memicu reaksi negatif dari publik, karena dianggap menghindar dari tanggung jawab dan tidak menunjukkan penyesalan nyata.
Insiden ini bukanlah yang pertama. Dalam lima tahun terakhir, setidaknya 175 jurnalis di seluruh dunia mengalami cedera saat meliput protes atau konflik, berdasarkan data Reporters Without Borders. Amerika Serikat sendiri tercatat sebagai negara dengan kasus kekerasan terhadap jurnalis terbanyak di dunia Barat dalam kurun 2020–2024.
Bagi jurnalis Australia yang bekerja secara internasional, insiden ini menjadi pengingat keras bahwa identitas pers tidak selalu cukup untuk menjamin keselamatan.
Rekan-rekan jurnalis dari seluruh dunia menyatakan solidaritas:
Christiane Amanpour (CNN): “Jurnalis bukan musuh. Mereka adalah saksi penting dalam demokrasi.”
Lisa Wilkinson (The Project Australia): “Saya bangga dengan keberanian Lauren. Tapi sedih karena dia harus menanggung risiko yang tidak seharusnya ada.”
Beberapa kantor berita besar seperti BBC, ABC, dan Al Jazeera menyatakan dukungan dan menyerukan peningkatan standar keamanan dalam peliputan protes.
Meski belum sampai ke level krisis diplomatik, hubungan antara Australia dan Amerika Serikat sedang diuji. Pemerintah Australia meminta perlindungan tambahan bagi semua jurnalis Australia yang sedang bertugas di AS, termasuk hak atas investigasi transparan jika terjadi insiden serupa.
Isu ini bahkan dibawa ke tingkat parlemen Australia sebagai bagian dari agenda diskusi hak asasi manusia dan kebebasan pers.
Muncul tekanan publik agar pemerintah AS, khususnya kota Los Angeles, mereformasi prosedur penanganan protes dan menetapkan zona aman untuk media. Banyak kalangan menyarankan bahwa:
Jurnalis harus diberi akses khusus ke zona peliputan.
Aparat wajib mengenali dan menghormati tanda “PERS” dengan pelatihan tambahan.
Prosedur eskalasi kekuatan harus disesuaikan agar tidak menyasar media atau warga sipil.
Kasus penembakan jurnalis Australia Lauren Tomasi adalah contoh nyata bagaimana cepatnya kekacauan bisa menjalar dari protes ke pelanggaran HAM. Dunia pers tidak boleh diam. Kebebasan pers adalah salah satu tiang utama demokrasi, dan tidak ada peliputan yang layak dibayar dengan luka fisik.
Lauren Tomasi kini dalam kondisi stabil dan telah dipulangkan dari rumah sakit. Dalam pernyataan singkat, ia mengatakan:
“Saya akan terus melaporkan kebenaran. Ini adalah risiko yang datang bersama profesi saya. Tapi itu tidak berarti kita harus menerimanya begitu saja.”
Apakah kebebasan pers masih aman di dunia modern? Insiden ini membuktikan bahwa jawaban atas pertanyaan itu tidak lagi bisa dianggap pasti.
Di era serba digital dan cepat seperti sekarang kartu kredit bukan lagi sekadar alat pembayaran…
Sakit pada telinga bagian dalam merupakan masalah kesehatan yang umum terjadi pada anak-anak. Penyebabnya biasanya…
Warna bukan hanya unsur estetika yang memperindah lingkungan, tetapi juga memiliki kekuatan fisik yang dapat…
Pendahuluan: Indonesia Hadapi Ketergantungan Energi Indonesia sebagai negara berkembang dengan pertumbuhan ekonomi yang cepat masih…
Timnas Indonesia gagal memetik poin di putaran keempat Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia. Melawan Timnas Arab Saudi pada Kamis…
Pasar keuangan pagi ini dikejutkan dengan pergerakan tak terduga dari nilai tukar dolar Amerika Serikat…